Thursday, April 3, 2008

Yoachim (2)

Yoachim

Kemana saja kamu selama ini? Ternyata semua ucapanmu itu hanya sebatas angan-angan. Aku tidak pernah percaya bahwa kamu bisa mempermainkan hati yang benar-benar mentasbihkanmu setiap hari. Kamu benar-benar berhasil membuatku menangis. Sedari dulu..
**
Dia melangkahkan kaki kembali di ujung gereja yang tampak tak berubah sedikit pun. Dia masih ingat dengan benar tempat saat di mana ia menangis menumpahkan segalanya kepada Pastur Gregory. Tak terasa, genap enam tahun ia tak menapakkan kaki di gereja ini. Tepatnya, ini hari pertama ia kembali menghirup kota di mana ia mengubur segalanya. Tepatnya, sebuah kuburan yang dibangun dengan semen dusta.
Kini, ia kembali duduk bersimpuh di tempat yang sama. Bilik itu masih terlihat sakral. Akan tetapi, ia tak yakin lelaki yang sama masih berada di baliknya.
“Bapa, saya kembali,” ucapnya berusaha tak asing dengan tempat ini.
“Hanya kepada Tuhan engkau kembali, Anakku,” jawab lelaki di balik bilik itu.
Ia sedikit terkejut. Suara itu tidak sama dengan yang didengarnya terakhir kali melakukan pengakuan dosa. “Bapa, engkaukah itu Pastur Gregory?”
“Bukan. Saya Pastur Yohannes.”
“Lantas, kemana Pastur Gregory, Bapa?”
“Beliau meninggal setahun lalu, Anakku” jawabnya.
Dia menahan air mata. Ia merasa benar-benar kehilangan. Hanya Pastur Gregory yang mengerti atas segenap apa yang dirasakannya. Hanya lelaki yang benar-benar memenuhi panggilan hidup selibat sebagai hamba Tuhan itu yang ingin ditemuinya ketika ia memutuskan untuk kembali pada gereja. Dan tiba-tiba, ia benar-banar merasa bersalah.
**
“Bapa, maafkan anakmu. Saya tidak memenuhi anjuran, Bapa,” ucapnya di samping nisan di mana tertulis nama Pastur Gregory yang dicarinya.
“Saya telah menyempurnakan diri untuk menjadi pendosa sepenuhnya. Saya tahu Bapa akan memaafkan saya. Untuk itulah, saya datang kembali ke kota ini. Sayang, Bapa telah pergi. Tuhan memberkati, Bapa” ia mengucapkan kalimat itu setengah terburu. Di batinnya tiba-tiba kembali teringat padanya….
*
Seperti yang aku duga. Dia akan mengatakan itu. Ia akan meninggalkanku meski sadar bahwa ia mencintaiku. Semestinya aku menyalahkannya atas hal itu. Tetapi, sebaliknya. Aku tetap menganggapnya benar. Aku saja berdosa dan salah. Ingin menuruti kata hati yang sesat. Tetapi, siapa yang sanggup untuk berkata tidak pada cinta?
Dialah yang selama ini mampu menundukkan keangkuhanku pada cinta. Dengan jutaan kasih, kata yang meneduhkan, sentuhan yang menentramkan, tatapan yang membius dia mampu menjadikanku begitu mencintanya. Tak hanya itu, dia seolah mengerti apa yng semua kurasakan. Dia memberi apa yang kuinginkan tanpa harus aku mengatakannya. Yang terpenting..
Ia tidak meneruskan kalimat itu. dia buru-buru menutup catatan kecilnya enam tahun lalu itu. Ia memutuskan untuk menyimpan semua catatan, foto, atau benda apa pun yang membuatnya teringat kepadanya. Cukup sudah enam tahun ia menutup diri dan melarikan kehidupannya pada pekerjaan. Ia memutuskan untuk kembali menjadi manusia biasa. Sama seperti orang lain bahwa hidup mesti kembali berlanjut meski tanpa seseorang yang pernah dicintai.
Setengah gusar ia memasukkan barang-barang itu ke dalam kardus. Ia tahu ini bukan pekerjan mudah tapi ia harus melakukannya. Sesekali ia berhenti sambil menatap setiap barang yang menghantarnya pada satu masa saat ia masih bersamanya. Namun, secepat itu pula ia akan menepis semuanya begitu saja. Namun, tetap saja ia tak sanggup lagi mendustai dirinya sendiri ketika ia sampai pada satu kalung berliontin salib berwarna keperakan. Air matanya jatuh perlahan. Ia tak tahan lagi membendungnya. Ini benda terakhir yang akan disimpannya. Benda ini telah melingkar di lehernya lebih dari enam tahun. Ya, tepatnya semenjak benda itu diberikan kepadanya tujuh tahun lalu seusai misa bersama. Katanya waktu itu,”Biarkan ini menjagamu. Jangan kamu lepas. Biarkan tahun ini dan tahun-tahun berikutnya menjadi natal terindah dengan adanya salib itu di lehermu. Sekarang apa yang akan kamu berikan untukku?”. Aku tidak menjawab sebab aku memang tidak menyiapkan hadiah natal untuknya. “Tak apa kalau kamu tidak menyiapkan hadiah natal untukku. Kehadiranmu di malam natal ini sudah menjadi bingkisan terindah untukku.”
Akhirnya, dia melepas kalung itu juga. Perlahan ia memasukkanya ke dalam kotak hijau muda yang wananya belum juga pudar meski telah teronggok lama di dalam lemari kemudian menyimpannya di dalam kardus. Artinya, selesai sudah pekerjaannya hari ini.”Inilah awal hidupku..”batinnya.
Hari mulai temaram. Ia memutuskan setelah seharian berkutat di kamar untuk menghabiskan akhir pekan ini dengan jalan-jalan di taman. Meski sadar bahwa taman itu juga menyimpan kenangannya tapi tetap saja ia tak bisa memaksa taman itu untuk ditutup. Lagian, tak ada tempat lain yang lebih nyaman selain taman dengan pepohonan cemara dan lampu temaram itu di kota ini. Ia sudah muak dengan mall, kafe, clubbing, gym, atau tempat lain penghilang penat kaum cosmopolitan.
Ia hanya berjalan menyusuri jalan setapak di sepanjang taman. Sesekali ia melirik pada beberapa pasangan yang ada di sana. “Seandainya kamu ada saat ini..”batinnya. Ia membeli kentang goreng untuk mengganjal perutnya yang mulai lapar. Ia baru sadar, seharian ia hanya mengkonsumsi jus sirsak kesukaannya. Ia berjalan kembali kemudian duduk pada sebuah kursi yang terletak agak di tengah taman. Di sebelah kursi ada cemara yang tidak terlalu rindang. Di sisi lainnya, sedap malam yang mulai bermekaran. Sebenarnya, ia tak suka bau kembang itu. Ia lebih menyukai melati. Sayang, melati terlalu identik dengan kembang orang mati. Jadinya, ia tak ditanam di taman ini.
Dia mengunyah kentang goreng itu perlahan smbil mengedarkn pandangan pada sekeliling. Biasanya, setelah bosan dengan pemandangan itu ia akan mendongak ke langit untuk melihat bulan dan bintang yang saling setia untuk selalu bersama. “Bintang dan bulan itu masih sama seperti kemarin,” batinnya.
“Bulan itu masih sama seperti kemarin”
Ia tersentak. Perasaan dia cuma membatin kalimat itu, tapi kenapa telinganya menangkap ada suara yang mengucapkan kalimat tersebut. Ia berusaha mencari sumber suara itu. Kemudian, matanya pun tertabrak pada satu sosok yang begitu tidak asing. Dia kembali…
“Venus..”
“Yo..”
Sesaat keduanya bersitatap. Bayangan-bayangan itu kembali muncul. Ia begitu bingung. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ini adalah mimpi. Ia ingin sekali terjaga. Ya, ia telah memutuskan untuk melupakannya semenjak siang tadi. Tetapi, seketika ia tersedan ketika Yoachim merengkuh dan membenamkan kepalanya dalam pelukan.
“Mengapa engkau memelukku, Yo?”
“Aku ingin menebus kesalahanku, Ven”
“Mengapa engkau meninggalkanku, Yo? Jangan katakan kedatanganmu sekarang juga untuk meninggalkan aku lagi. Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi, Yo..”
“Aku sengaja datang kembali untukmu Venus..”
“Tapi…, bukankah seharusnya aku memanggilmu Pastur sekarang?”
Yoachim melepas pelukannya. Ia menatap mata Venus kemudian ia mengecup bibir manis yang dulu selalu membuatnya tertawa. “Semestinya aku melakukan ini enam tahun lalu, Ven. .”
“Apa yang membuatmu berubah, Yo?”
“Kemana kalung salib yang kuberikan dulu?”
“Aku baru melepaskannya siang tadi. Kamu belum jawab pertanyaanku, Yo?”
“Kamu masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah sedikitpun. Selalu saja tidak sabar. Aku tidak bisa mendustai hatiku lagi, Ven. Aku tidak bisa mengajarkan kebaikan ketika setiap saat aku selalu teringat saat engkau menangis sewaktu kita memutuskan untuk mengakhiri semua yang belum terawali. Tidak cuma kamu yang setiap saat memikirkan aku. Aku juga, Venus..”
“Pastur Gregory..Beliau pasti menangis melihat ini semua. Kamu sudah ke makamnya?”
“Mungkin. Tapi aku tidak akan memaafkan diriku sendiri dengan membiarkanmu menangis lagi. Biarkan aku mencintaimu, Venus…”.
Keduanya pun kembali berpelukan.

No comments: