Thursday, April 3, 2008

Rahwana

Rahwana

“Ia adalah wanita terbodoh yang pernah kutahu. Bukan hanya dia. Sekarang ini, begitu banyak kulihat wanita bodoh dalam setiap jengkal pandang mata. Bila Drupadi sedemikian keras memohon kepada Wisnu yang menitis pada wujud Krisna agar diselamatkan dari ketelanjangan di depan umum maka kini wanita tanpa ada paksaan, bahkan dengan sukarela melepas kain penutup tubuhnya di mana-mana. Wanita-wanita itu seolah begitu bangga dengan melepas baju penutup auratnya. Wanita semacam itukah yang disebut figur ideal wanita zaman sekarang, wanita-wanita korban voyeurisme lelaki?”
******************************************************************
Perkenalkan, nama aku Pere. Perempuan, lengkapnya. Entah mengapa ibu memberi nama yang berarti kanvas di mana lelaki seyogyanya melukis, sebuah lahan di mana Adam menebarkan benih, sebuah guci yang tak boleh retak dan dituntut untuk selalu utuh, demikianlah sejumlah orang memaknai namaku. Perempuan. Sebuah diksi yang kemudian berameliorasi menjadi wanita. Aku tak pernah mempersoalkannya sebab aku bukan lelaki atau pun perempuan yang terjebak dalam jasad kelelakian. Aku adalah seorang perempuan yang bernama Perempuan...
Aku mencintai Rahwana. Jangan kamu bayangkan bahwa lelaki yang kucintai itu mempunyai sepuluh muka, bertaring, dan berwujud raksasa. Berbeda denganku, nama Rahwana sebenarnya tidak cocok untuk dia. Salah besar..
Tubuhnya kurus bahkan memeluknya pun aku serasa tak memeluk apa pun. Matanya ngambang, ngomongnya diseret-seret tak beraturan, kulitnya menghitam, dan wajahnya dipenuhi jerawat. Ah, mungkin aku salah bila bilang nama Rahwana tak cocok baginya, mengingat secara fisik Rahwanaku sama buruknya dengan Rahwana dalam dongeng itu. Sungguh, tak kudapati kriteria ideal seorang lelaki pada sosoknya.
Rahwana senantiasa memanggilku bangsat, begok, bahkan gila. Ia pun tak segan untuk terus memakiku seolah makian adalah sekumpulan kosakata baru yang melegal baginya.
Benar, tak ada panggilan mesra, apalagi kalimat cinta, yang pernah dilontarkannya untukku. Namun, aku tahu –atau membutakan diri?- begitulah caranya mencintaiku.
Rahwana juga sering nganeh-nganehi. Pernah suatu ketika ia bilang tengah terpikat oleh sosok wanita lain. Rahwanaku benar-benar telah terpaut hati padanya. Lantas, Rahwanaku pun menceritakan semua isi hatinya padaku tanpa berdosa, tanpa beban dan pikiran bahwa aku akan sakit hati, atau pun cemburu sama sekali. Sayang, sebagai wanita tentu saja aku tak rela kekasihku memuja wanita lain tapi aku selalu tahu bagaimana harus bersikap sebagai Perempuan.
“Rahwana mencintainya?” aku bertanya tetap sebagai Perempuan tatkala ia mulai bercerita tentang hatinya yang tengah berbunga. Rahwana tidak menjawab. Ia hanya terdiam sambil lekat memandang ke arahku. “Kenapa Rahwana diam? Kalau Rahwana suka, menikahlah dengannya!” Aku berucap itu dengan kalimat yang kurasa lebih terdengar mantab daripada kemarin-kemarin. Entah kenapa bisa demikian. Mungkin karena aku adalah Perempuan yang telah mengerti bagaimana Rahwanaku. Aku lahir untuk sebuah pengabdian pada Rahwana, mungkin..
“Pere tidak sakit hati?”
“Jelas saya sakit hati tetapi sejak kapan kita tertarik berbicara soal apa yang dikata oleh hati, Rahwana?”
Rahwana terdiam lagi, seolah sedang mengingat-ingat satu hal. “Kapan terakhir kali kita menyinggung soal hati masing-masing, Pere?”
“Kita belum pernah memulainya sama sekali ketika Rahwana sudah bicara terakhir. Ah, sejatinya saya tidak tertarik berbicara soal kata hati. Kata hati hanya akan membuat saya terbelenggu bila tidak mendengarkannya. Kata hati pula yang akan menjadikan cinta saya pudar pada Rahwana yang saya tahu telah berpindah hatinya pada wanita lain..”
“Pere, mari kita bicara soal hati?!”
“Jatuh cinta membuatku kehilangan Rahwanaku rupanya. Siapa yang sedang bicara padaku sekarang? Rahwanaku tidak seperti ini. Aku yakin benar!”
“Apa maksudmu, Pere?”
“Rahwanaku yang saya tahu adalah Rahwana yang tidak suka membicarakan sesuatu yang sentimentil apalagi menyoal tentang kata hati. Rahwanaku adalah lelaki yang memanggilku bangsat sebagai penanda cintanya. Aku telah bahagia dengan semua itu dan aku tak ingin melihat Rahwana yang lain.”
“Kamu jangan berdusta pada hatimu, Pere! Deskripsi kebahagiaan bukanlah tersakiti dan implementasi rasa cinta bukanlah dengan menyakiti!”
“Aku tidak pernah merasa tersakiti. Bercinta denganmu telah membuatku memandang tersakiti dan menyakiti adalah dua hal yang satu sebagaimana kumemandang suara bukanlah suara semata. Suara adalah pergantian bunyi dan keheningan yang cepat dan, menurutku, demikianlah segala sesuatu sewaktu aku bersamamu. Kesadaran memang memiliki sebuah mekanisme yang aneh. Kita adalah spesies yang memiliki kesadaran tertentu yang disebut perhatian yang sadar, dengannya kita mempunyai kemampuan untuk meneliti pernik-pernik kehidupan dengan cermat. Kita dapat membatasi pandangan kita pada medan sentral penglihatan dalam mata. Kita mempunyai penglihatan sentral dan periferal. Penglihatan sentral kita gunakan untuk membaca dan melakukan semua kegiatan dalam jarak dekat, mirip dengan cara kerja lampu sorot. Sedangkan pandangan periferal lebih mirip dengan lampu minyak”
“Aku tak habis pikir. Mengapa hatimu begitu besar, Perempuan?”
“Sudah saya bilang, saya tidak tertarik bicara soal hati. Rahwana.., aku hanya ingin tahu bagaimanakah wanita yang tengah engkau gandrungi itu? Apakah dia sesetia Shinta? Sehebat Drupadi? Atau secantik Jenifer Lopez??”
“Ia melebihi mereka semua sebab ia tidak bodoh seperti wanita-wanita itu..”
“Kamu bilang mereka bodoh? Bukankah Shinta, Drupadi, Jenifer Lopez adalah sosok ideal dari wanita?”
“Aku bilang mereka bodoh karena mereka adalah wanita-wanita yang tidak berpinsip! Wanita yang bisa direndahkan oleh lelaki..”
“Kurang apakah seorang Shinta?”
“Shinta hanyalah sosok wanita yang tidak pernah menggunakan rasionya terhadap Rama. Untungnya, Batara Surya menyelamatkan dirinya dari panas api sewaktu suaminya yang tak tahu diri itu memintanya menyeberangi lingkaran api untuk membuktikan bahwa ia belum tersentuh oleh Rahwana. Mengapa Shinta melakukan itu? Demi cinta, mungkin. Tapi cinta macam apa jika didasarkan pada sebuah syarat bertajuk keperawanan? Semestinya Shinta tak perlu melakukan semua itu bila ia menyadari bahwa Rama tengah merendahkan martabatnya sebagai wanita terhormat dengan meragukan kesetiaan dan kejujurannya. Shinta hanyalah wanita yang menikmati keangkuhan seorang lelaki.”
“Lantas bagaimana dengan Drupadi? Jangan kau bilang dia adalah seorang pelacur karena merelakan dirinya diperistri oleh lima lelaki sekaligus, Rahwana!”
“Drupadi hanyalah wanita bodoh yang rela menerima kembali suami-suaminya yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa dalam darah mereka mengalir darah ksatria Pandawa. Mana ada suami yang menjadikan istri sebagai taruhan dalam meja judi kemudian membiarkannya ditelanjangi di depan mata tanpa berbuat apa-apa? Beruntunglah, Drupadi seorang pemuja Wisnu yang taat hingga ia selamat dari dipermalukan di hadapan puluhan pasang mata lelaki dalam arena konyol itu. Suami yang menyamakan istrinya dengan barang taruhan apakah masih pantas disebut suami? Drupadi yang malang, ia silau oleh fatamorgana yang berlabel pengabdian..”
“Jenifer Lopez?”
“Ia adalah wanita terbodoh yang pernah kutahu. Bukan hanya dia. Sekarang ini, begitu banyak kulihat wanita bodoh dalam setiap jengkal pandang mata. Bila Drupadi sedemikian keras memohon pada Wisnu yang menitis pada wujud Krisna agar diselamatkan dari ketelanjangan di depan umum maka kini wanita tanpa ada paksaan, bahkan dengan sukarela melepas kain penutup tubuhnya di mana-mana. Wanita-wanita itu seolah begitu bangga dengan melepas baju penutup auratnya. Wanita semacam itukah yang disebut figur ideal wanita zaman sekarang, wanita-wanita korban voyeurisme lelaki?”
Aku terbengong menyaksikan Rahwanaku. Ternyata begitu banyak puing dirinya yang belum kusentuh. Inikah Rahwanaku yang seutuhnya?
“Rahwana, aku senang engkau memiliki perspektif yang sangat berbeda dengan lelaki kebanyakan. Tapi sebagai wanita, aku hanya ingin tahu bagaimanakah pujaan hati lelakiku?”
“Wanita itu adalah wanita. Ia tahu bagaimana bertingkah sebagai wanita. Ia juga tahu bagaimana harus bersikap pada Rahwana”
“Siapakah dia, Rahwana?” aku penasaran. Ingin tahu siapakah wanita itu.
Rahwana menatap dalam ke arahku. Tatapan itulah yang selama ini mempesonaku. Tatapan yang benar-benar tak kuinginkan namun selalu terbayang hangatnya dalam setiap desirku. Rahwana masih menatapku. “Sekarang aku sedang berkaca pada matanya, Perempuan!”
Aku membalas tatapan Rahwana. Kudapati bayanganku terpantulkan di sana. Ya, aku mencintaimu sebab engkaulah yang mampu membuatku merasa benar-benar menjadi perempuan, Rahwana…

No comments: