Thursday, April 3, 2008

Sekarang.Dulu.

Sekarang. Dulu…
Kira-kira, semenjak dua minggu lalu saya mempunyai kebiasaan memandang ke luar jendela ke arah taman yang kebetulan terlihat jelas dari kamar saya. Terkadang, kegiatan itu saya lakukan penuh sepanjang hari libur. Saya lupa akan makan, minum, jalan-jalan, atau membenahi rumah seperti yang pernah saya lakukan sebelumnya.
Pada hari-hari biasa, sebelum bekerja selalu saya sempatkan untuk melihat ke luar jendela. Bahkan tak jarang saya berdiri di bibir jendela itu dengan kondisi setengah telanjang atau bahkan bugil. Saya selalu menikmati saat angin menyetubuhi saya dan embun menjilati tiap celah pori-pori kulit saya. Saya benar-benar menikmati satu kebebasan yang teramat bebas di saat seperti itu. Kejujuran yang teramat jarang saya pamerkan dalam kehidupan sehari-hari benar-benar saya ekspos bulat-bulat dalam moment memandang ke luar jendela : bugil!
Taman itu seperti taman-taman yang lain. Berkarpet rumput hijau diselipi kembang warna-warni. Saya sendiri tak begitu tertarik untuk mengetahui namanya. Saya hanya menikmati warna dan semerbak wanginya. Saya hanya tahu dua nama bunga : mawar dan melati. Untuk nama-nama yang lain, saya seringkali salah mencocokkan nama dan bunganya. Itulah mengapa saya tidak tertarik untuk menghafal nama-nama kembang yang indah itu. Bagi saya menikmati saja sudah cukup.
Di satu pojok taman itu tumbuh satu pohon yang menurut saya adalah pohon yang terindang –saya pun tak tahu namanya. Daunnya benar-benar lebat dan acapkali berguguran –semua orang saya rasa tahu. Di salah satu dahannya, mata saya selalu tertuju. Dahan yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Dahan yang sedikit lurus tapi tidak juga bisa untuk dikatakan bengkok. Dahan di mana burung –lagi-lagi saya tak tahu namanya- itu biasa hinggap.
Burung yang selalu bernyanyi, menoleh ke kanan ke kiri, mematuki pohon tempatnya hinggap, menggoyang-goyang buntutnya, dan burung yang seringkali matanya bersitatap dengan mata saya. Pandangan kami senantiasa beradu. Tak ada makna yang tercipta tapi bukan berarti itu hal biasa. Hanya kosong dan damai. Dua kata itu yang bisa saya katakan untuk melukiskan bagaimana rasanya saat kami berpandangan. Beberapa saat kemudian, burung itu pun memalingkan pandangannya yang membuat saya seolah kembali tersadar setelah beberapa saat terhipnotis.
Di sebelah pohon terindang dan beberapa meter dari lampu taman itu terdapat tempat duduk bercat hijau. Tempat duduk itu lazim disebut bangku. Ya, karena ia mempunyai sandaran yang memanjang dan berdiri dengan empat buah kaki serta biasa diletakkan pada salah satu sudut taman.
Di bangku itulah saya selalu melihat lelaki itu. Lelaki yang selalu duduk di sana saat saya sedang memandang ke luar jendela. Bahkan, saya rasa, dia telah berada di sana saat saya belum mulai berdiri di bibir jendela. Lelaki yang selalu memakai hem lengan panjang warna hitam dengan sepatu dan celana warna senada. Lelaki yang selalu membawa setangkai mawar merah di tangan sebelah kanannya. Lelaki yang selalu memandang ke arah tenggara dengan tatapan seolah sedang menanti seseorang yang istimewa.
Lelaki itu bertinggi kurang lebih 170 senti, berambut lurus terpangkas rapi. Matanya sedikit kecoklatan dengan hidung tidak terlalu mancung tapi juga tidak bisa dibilang pesek. Kulitnya sedikit hitam kemungkinan karena terlalu sering berjemur di bawah sengatan mentari dan saya kira usianya masih kurang dari angka 30.
Lelaki itu tidak seperti burung di atas dahan itu. Dia tidak pernah bersitatap dengan saya bahkan dia mungkin juga tidak sadar bahwa saya sering memperhatikannya. Saya rasa lelaki itu benar-benar menikmati kesendiriannya di taman itu tanpa menginginkan kehadiran orang lain meski cuma lewat pandangan.
**
Pagi ini, saya bangun jam 5.30. Seperti kelaziman saya yang hampir selalu tidur telanjang, saya pun bergegas berdiri di bibir jendela. Pemandangan yang sama masih saya temui. Burung yang bernyanyi di atas dahan, embun, rumput, dan penghuni taman yang sama. Mata saya terus beredar menyapu taman tak luput pada bangku itu. Sesaat saya pikir tak ada yang kurang. Sekejap kemudian, pandangan saya arahkan pada bangku hijau itu kembali. Dia kosong. Lelaki itu belum datang rupanya. Hari ini, dia terlambat atau saya yang kepagian? Tidak. Pasti dia yang terlambat sebab saya bangun seperti biasanya saat jam weker saya menyalak pada jam setengah enam tepat.
Setengah jam kemudian, lelaki itu datang. Tidak seperti biasanya, kali ini ia datang dengan mengenakan hem warna hijau agak terang dengan sepatu dan calana senada. Di tangannya tak ada lagi setangkai mawar melainkan seikat mawar. Hari ini dia tampak ceria. Saya melihat seulas senyum tersungging di bibirnya yang kemerahan.
Semenit, dua menit, tiga menit, seperempat jam, setengah jam, satu jam, dua jam, kebahagian di wajah lelaki itu semakin berkurang. Berulang kali ia melihat arloji di pergelangan tangan kanannya lalu melongok ke arah tenggara yang tetap saja lengang. Dia ada janji bertemu dengan seseorang di tempat ini saat ini, pikir saya. Tapi siapa? Saya melihat lelaki itu tertunduk lunglai kemudian dia beranjak meninggalkan taman itu –satu hal yang luar biasa ketika dia meningglakan taman itu sebelum saya.
Sehari, dua hari, tiga hari pemandangan yang sama tetap saya lihat. Lelaki itu datang dengan suka cita lalu semua berakhir dengan semburat kecewa di wajahnya. Hari ini adalah hari yang ke empat. Saya bertekad untuk mencari tahu siapa dia, siapa yang selalu ditunggunya, mengapa ia selalu datang ke taman ini tiap pagi kemudian duduk berlama-lama di bangku hijau itu?
Saya bangun lebih awal dari biasanya. Saya berdiri di bibir jendela. Tidak dengan telanjang kali ini tetapi memakai baju meski belum mandi. Sesaat saya menunggu kedatangannya. Sepuluh menit kemudian dia datang dan seperti kebiasannya ia pun duduk di bangku itu. Kali ini dia datang dengan penampilannya semula. Hem hitam dengan celana dan sepatu senada yang membuatnya semakin misterius di mata saya. Saya tidak langsung menghampirinya. Saya tunggu beberapa saat lagi. Baru setengah jam kemudian setelah saya rasa dia nyaman dengan posisinya saya bergegas menuruni tangga ke luar rumah melangkah dengan sedikit tergesa menuju taman itu.
Saya lihat dia tetap asyik memandang ke arah tenggara membuat saya tidak enak untuk memanggilnya. Semula hendak saya urungkan niat kemudian kembali ke dalam rumah. Akan tetapi, tiba-tiba lelaki itu mengejutkan saya dengan berkata, ”Kamu sudah datang?” Dia mengucapkan kalimat itu tanpa menoleh ke arah saya. Saya bingung. dia sedang bergumam atau bicara dengan saya? Kalau itu gumaman mengapa terdengar begitu jelas? Kalau dia sedang berbicara dengan saya mengapa pandangannya tetap kearah tenggara, bukan menghadap saya?
Pertanyaan yang berkecamuk dalam benak itu tak saya hiraukan. Saya benar-benar ingin meninggalkan tempat ini secepatnya. Namun, kalimat yang dilontarkan laki-laki itu lagi-lagi menghentikan langkah saya. “Saya tahu kamu sering memperhatikan saya dari jendela kamarmu dengan telanjang.” Mendengar itu, spontan muka saya memerah karena malu. Dengan suara bergetar, saya balik bertanya, ”Bagaimana Anda bisa tahu sementara Anda selalu memandang ke arah tenggara, membelakangi jendela kamar saya?”
“Dari mimpi.”
“Maaf. Anda salah orang rupanya,” saya buru-buru mengucapkan kalimat itu begitu mendengar jawabannya yang menurut saya begitu irasional. Bahkan, sempat terlintas dalam benak saya bahwa dia adalah lelaki yang menjadi gila karena ditinggal pergi oleh kekasihnya.
“Tidak. Saya tidak salah orang. Kamu Laverna, bukan?” kali ini dia bicara tepat menghadap saya. Matanya jauh lebih mempesona dari yang biasa saya lihat lewat jendela. Matanya dihiasi alis yang tebal dan lentiknya bulu mata serta mata itu memiliki sorot setajam matahari. Ia bukan lelaki gila. “Jawablah bila kamu memang Laverna!” Saya tidak mendengar apa yang dikatakannya barusan. Saya larut dalam perasaan aneh yang tiba-tiba menggerogoti. Saya seolah tidak asing dengan tatapan, aksen, caranya mengucapkan nama saya, dan entah mengapa saya merasa begitu sejuk mendengar suaranya. Benar, saya sungguh familiar dengan segala hal yang melekat dengan pria yang tengah berdiri di hadapan saya ini.
“Benarkah kita pernah bertemu?” kalimat tanya itu keluar begitu saja tanpa kontrol dari mulut saya.
“Jadi, benar kamu Laverna?” lelaki itu kembali bertanya tentang nama saya. Belum sempat saya menjawab, dia telah membenamkan saya dalam bidang dadanya. Saya dengar denyut jantung itu, saya sangat pernah mendengar degup itu. Bau, parfum ini, hembusan nafas, hangatnya tubuh, kuatnya dekapan, dan tanda lahir hitam berdiameter kurang dari dua senti di leher sebelah kanan itu. Saya yakin saya mengenalnya, saya pernah bertemu dengannya tapi di mana dan siapa dia?
“Benar saya Laverna. Tetapi kapan dan di mana kita pernah bertemu sebelumhya?” Dia mengendorkan pelukan kemudian melepasnya perlahan. “Jangan katakan lagi bahwa kita bertemu lewat mimpi kalau Anda tidak ingin saya anggap gila. Saya tidak pernah percaya pada mimpi,” potong saya ketika dia bermaksud menjawab pertanyaan saya.
“Mungkin kamu tidak percaya bahwa kita pernah bertemu lewat mimpi dan kita saling berjanji untuk bertemu di taman ini pada hari ke sembilan bulan ini pada jam enam pagi. Saya tahu hari ini kamu berulang tahun, Laverna. Itulah alasan mengapa kamu ingin kita bertemu pada hari ini,” dia menjelaskan semuanya dengan mata berbinar dan suara yang begitu renyah menandakan ia sangat gembira akan pertemuan kami. Tapi, bagaimana ia bisa tahu tentang ulang tahun saya? 9 Maret, rasanya saya tak pernah berkoar-koar tentang hari kelahiran saya itu bahkan sejak lama saya tidak pernah merayakannya lagi. Lantas, dari mana dia tahu? Benarkah saya mengatakan semua itu melalui sebuah mimpi? “Kamu masih tidak mempercayainya, Laverna? Kalau begitu ikutlah dengan saya,” dia berkata sambil menggamit tangan saya kemudian menggandengnya secara paksa menuju ke suatu arah. Entah kekuatan apa yang dimilikinya sehingga saya bertingkah seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Saya begitu menurut ketika dia membuka pintu mobil dan menyuruh saya masuk kemudian duduk tepat di sebelahnya. Dan lagi-lagi, saya merasa pernah menaiki mobil ini, dan…boneka tazmania yang bergelantungan tepat di depan mata saya itu…bagaimana bisa boneka yang hilang setahun lalu itu bisa berada di dalam mobil ini?. Untuk membayar rasa penasaran itu, saya periksa boneka itu dan…benar itu boneka saya. Saya tidak akan pernah lupa pada huruf “L” yang saya goreskan dengan spidol merah di salah satu permukaannya. Saya semakin kaget dan bingung dengan semua ini.
“Dari mana kamu dapatkan boneka ini?” tanya saya seolah mencari keyakinan sekali lagi, tak puas dengan apa yang bercokol dalam benak.
“Kamu sendiri yang memberikannya sebelum pergi ke Austria setahun lalu. Bagaimana kamu bisa melupakan semua itu, Laverna?”dia berkata dengan intonasi sedikit menyesal.
“Ah, saya semakin tidak habis mengerti dengan semua ini!” lagi-lagi saya menggerutu.
“Sebentar lagi kamu pasti mengerti, Laverna!” ujarnya memberi saya harapan sambil mempercepat laju mobil.
Di sepanjang perjalanan, harapan saya untuk semakin mengerti dan meminimalisir kebingungan sirna. Saya benar-benar seperti orang linglung yang terkena demensia dadakan. Kembali perasaan yang sama muncul. Seolah saya pernah mengalami semua ini bersamanya. Saya melirik ke arah speedometer. Benar, hampir persis jarumnya mengarah pada angka 80 km/jam. Kemudian, di depan sana akan ada belokan lalu kami akan berhenti di lampu merah. Lantas, dia akan melempar selembar ribuan pada seorang pengemis yang duduk selonjor di trotoar di sebelah kanan traffic light. Setelahnya, dia akan memberi dua ratusan logam pada pengamen cilik yang memakai topi dari bambu. Benar, semua rentetan peristiwa itu terjadi satu persatu. Terulang tanpa terlewatkan sedikit pun. Saya hafal benar dengan peristiwa itu –padahal menghafal nama bunga saja saya tidak bisa. Saya seolah pernah mengalaminya. Tapi, mengapa saya tidak dapat mengingat nama lelaki ini –seperti saya tidak dapat mengingat nama bunga-bunga di taman yang terlihat jelas dari jendela kamar saya. Siapakah dia?
Di salah satu rumah yang berlokasi di depan sebuah masjid, dia menghentikan mobilnya, membunyikan klakson sebanyak dua kali, kemudian seorang pembantu berlari tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang untuknya. Rupanya, inilah rumah lelaki itu. Saya tetap terdiam tanpa suara. Namun, begitu mesin mobil terdiam, saya langsung membuka pintu mobil dan menerobos masuk ke dalam rumah. Saya masuki tiap ruang dalam rumah itu. Di sebelah pojok sana terdapat ruang keluarga lengkap dengan televisi ukuran raksasa. Di pojok lain terdapat ruang telepon yang bersebelahan dengan ruang tamu yang berhiaskan akuarium yang dijejali ikan hias –lagi, saya tak begitu paham apa namanya : lohan, koki, sapu-sapu, atau apalah! Kemudian, di lantai dua adalah kamar saya. Benar, kamar saya. Itu kamar saya!
Saya terdiam di kamar itu. Kemudian satu per satu bayangan itu pun muncul. Di dekat kaca hias itu saya menyisiri rambut sedangkan dia tampak sedang membaca sisa buku yang tinggal separo dengan bertelanjang dada. Selang beberapa menit, saya melihat kami telah saling berciuman, memagut, melucuti pakaian, bermandi peluh dan akhirnya tertidur lemas karena letih. Kemudian, kami bercinta kembali sampai malam benar-benar habis.
“Kamu sudah mengingat semuanya, Laverna?” tanpa saya sadari dia telah berdiri di dekat saya dan mengejutkan saya dengan pertanyaan itu.
“Ya. Saya seolah melihat semuanya berseliweran tapi tetap saya tidak tahu siapa nama kamu, Arde,” jawab saya. Tunggu, Arde? Saya menyebut nama Arde? Bagaimana bisa?
“Benar kamu telah berhasil mengingat semuanya.”
“Benar nama kamu Arde?”
“Tidak salah dan dulu kita pernah bersama.”
“Bersama?”
“Kita dulu sepasang suami istri,” jawabnya sambil menyodorkan sebuah foto kepada saya. Saya pandangi pigura itu. Benar, di dalamnya terpajang gambar saya lengkap dengan make up mahal dan gaun pengantin megah. Dan, dia mempelai lelaki itu. Berarti dia adalah benar suami saya dan saya adalah istrinya?
“Bagaimana mungkin? Saya jelas-jelas belum pernah menikah bahkan saya yakin saya masih perawan!” saya masih saja tidak percaya dengan apa yang jelas-jelas telah saya saksikan barusan. Saya melempar gambar itu ke atas ranjang kemudian melangkah ke dekat jendela dengan harapan semoga di luar sana ada seseorang yang mampu merasionalkan semua kejadian hari ini. Astaga. Saya terperangah. Konfigurasi, komposisi dan pemandangan dari jendela kamar ini sama persis dengan apa yang sering saya nikmati setiap hari belakangan ini.
“Jangan kaget! Begitulah keadaannya. Kamu yang dulu meminta saya untuk membangun sebuah taman di seberang jendela agar kamu selalu bisa ingat pada embun yang telah membesarkanmu dan angin yang telah menerbangkanmu kemari!”
“Kamu tidak sedang mengdongeng, bukan?” saya bertanya sambil berjalan menghampirinya. Saya belai kedua rahang kokohnya. Saya bermain dengan kerah baju dan kancing bajunya. Semua itu saya lakukan seolah saya ingin menikmati dan mempercayai bahwa ini adalah kenyataan bukan sekedar hayali. Tapi, ternyata saya tak bisa melakukan itu berlama-lama. Saya tak kuasa untuk tidak berteriak histeris kemudian terisak dasyat dalam dadanya sambil terus berucap, ”Siapa saya sebenarnya?”
Dia berusaha meredam tangis dengan memeluk dan membelai punggung dan rambut saya. Sesaat dia mengecup kening saya kemudian dari bibirnya dia menjawab, ”Kamu adalah istriku dulu dan semarang, Laverna!”. Mendengar itu saya terdiam seketika. Dulu dan sekarang?
Saya menatapnya sekali lagi. Saya menatapnya sekali lagi. Kosong dan damai. Sama seperti yang saya rasakan sewaktu bersitatap dengan burung yang biasa bertengger di dahan yang tidak lurus dan tidak bengkok pada pohon terindang yang terdapat di taman yang terlihat begitu jelas dan indah dari bibir jendela kamar saya. Saya menatapnya sekali lagi. Saya menatapnya sekali lagi. Saya. Menatapnya. Sekali. Lagi. Saya menatapnya. Sekali lagi. Saya…Menatapnya….Sekali…Lagi…

No comments: