Thursday, April 3, 2008

Triple

Triple

Sudah lebih setahun saya menikah dengannya tetapi tak pernah secuil pun tubuh ini pernah disentuhnya. Mengapa? Pertanyaan itu selalu saja muncul. Puluhan jawaban bertebaran dalam benak tapi secepat jawaban itu terbersit secepat itu pula saya menepisnya.
*
Namanya Gyrs. Kami menikah atas nama sebuah perjodohan dengan alasan klise : desakan orang tua untuk segera mengakhiri lajang mengingat usia yang boleh dibilang tak lagi muda. Usia kami sama-sama kepala tiga lebih beberapa tahun, keluarga besar tak mau menanggung malu karena salah satu anaknya tak kawin-kawin. Walhasil, pernikahan pun terselenggara. Puas?
*
Namanya Abel. Usianya 3 bulan lebih tua dariku. Dia tidak terlalu ganteng. Dia juga bukan tipe lelaki idaman. Tapi begitulah, dia mampu meyakinkanku untuk tidak segera menikah setelah mengenalnya. Menikah berarti merelakan sebagian kebebasan menikmati hidup, itu yang selalu ditekankannya. Dia juga mengajari bagaimana harus menjalani hidup. Aku memang rapuh meski terkesan tegar. Dialah yang selama ini mampu menjadikan segalanya menjadi lebih logis bagiku. Benar, menikah mungkin baik untuk orang lain tapi tidak untuk kita, pernah suatu ketika ia merasionalkan penolakannya untuk segera melamarku. Aku mengamininya. Logis saja, aku yang sedang bermimpi, bagaimana kami bisa menikah? Yang benar saja..
*
Gue kenal Gyrs sekitar 2 tahunan. Sebenarnya, dia cerdas cuma terlalu naïf. Kalo nggak sesuai aturan, semuanya bakal diprotes. Nggak cuma itu, dia sering terlalu baik sama orang lain. Bahkan, lagi banyak-banyaknya kerjaan atau sebete apapun ia bakal ngasih senyum sama orang lain. Gue selalu ngacungin jempol buat manajemen kemunafikan yang sukses ia pelihara. Tapi, jujur, hal-hal kayak gitulah yang bikin gue ngerasa Gyrs adalah belahan hati yang selama ini gue cari. Dia selalu bisa ngepahamin, bahkan tanpa gue bilang apapun, dia udah tahu apa yang gue pingin. Kedengarannya memang egois tapi gue ngertiin juga apa isi hati MyGyrs. Dia butuh orang yang bisa ngelindungin, bilang tidak untuk beberapa argumentasinya, ngelarang dia, dan seorang yang bisa ngebentak dia dengan logis. Dan gue rasa, gue lah orang itu. Meski gue sadar, gue nggak bakal pernah mau merit sama dia.
*
Namanya Getta. Keturunan India Dravida. Tidak terlalu cantik, tidak juga menunjukkan kalo dia wanita yang smart. Aku menikahinya 2 tahun silam. Mungkin benar, menikahinya adalah suatu kesalahan. Menikahinya berarti melibatkannya dalam permainan ini. Menikahinya juga berarti menjadikan dia sebuah manekin dalam rumah tangga ini. Menikahinya sama dengan menambah beban kehidupannya sebagai perawan tua yang dipaksa menikah.
Getta bukanlah perempuan yang tidak baik. Bahkan, dia teramat baik untuk lelaki sepertiku. Seperti lazimnya seorang istri, pagi hari ia menyiapkan sarapan, baju kerja, mencium tangan sewaktu aku hendak ngantor, menyiapkan makan malam, dan bersiap ke ranjang. Untuk yang terakhir, mestinya semua berjalan sebagaimana layaknya pasutri tapi..
*
Saya tidak akan pernah menyesali pernikahan ini. Meski hasil sebuah perjodohan, saya rela melepaskan atribut wanita karier yang selama ini saya kejar hingga telat kawin. Prinsip saya, menikah adalah untuk sekali. Jangan bilang saya terlalu memaksakan diri. Dua tahun tidak diberi nafkah batin, kenapa tidak bercerai saja?
C E R AI …?!?
Saya tidak menutup mata atas semua kemungkinan. Tapi inilah yang bakal terjadi..
Entahlah..
*
“Pak Abel, selamat siang. Perkenalkan nama saya Getta. Saya memang tidak ada janji ketemu Anda siang ini. Tapi apa yang akan kita bicarakan jauh lebih penting dari sebuah protokoler kantor”
“It’s ok. I’m free. Can I Help you..?”
“Nyonya,” tegas saya begitu melihat ia kebingungan antara memanggil saya Nona atau Nyonya. “ Tepatnya Nyonya Getta Gyrswantara!”

*
“Buat apa kamu datang ke kantor rekananku?”
“Rekanan yang mana? Kalo maksud Mas adalah Pak Abel, saya pikir dia lebih dari sekedar rekanan..”. Apa dia belum cerita? Perlukah semuanya dipertanyakan lagi? Atau.. jangan-jangan kamu hanya ingin lebih menyiksa saya? “Saya bukan wanita yang bisa menulikan kuping atas semua selintingan yang menyinggung suami sendiri, Mas..”
“Maksud kamu?”

*
to : MyGyrs @ Yahoo. Com
From : AbelMu @ Yahoo. Com
Gyrs..setelah istri lo nyamper ke kantor, gue jadi mikir. Apa sich yang selama ini lo perjuangin buat gue? Gue nggak se-worth it yang lo kira. Nikahin lo aja gue kagak pernah mau. Gue emang cinta lo tapi gue juga manusia, Gyrs. Gue nggak tega ngeliat istri lo nangis di depan gue, bilang kalo kehidupan perkawinannya nggak happy gara-gara gue. Padahal, istri lo udah berkorban begitu banyak. Ninggalin karir yang lagi moncer, nggak selingkuh, nurutin ape kata lo…
Sewaktu lo mutusin buat nikah, dalam hati gue udah nyadar ini semua pasti bakal kejadian. Ibarat bangkai, sekarang ni semua orang udah bisa ngecium baunya.
Lo juga mesti inget, Lo sendiri yang udah nyalain api lewat pernikahan, lo juga yang mesti madamin api itu. Bukan bareng gue tapi lo sendiri, Gyrs!
O ya, gue sekalian pamit. Lusa gue move ke Paris…
Take care..
*
Abel..aku di depan Eifel..would u come., my soulmate..
sender
MyGyrs
0811271044
17-12-2005 11:22
*
Sudah lebih setahun saya menikah dengannya tetapi tak pernah secuil pun tubuh ini pernah disentuhnya. Mengapa? Pertanyaan itu selalu saja muncul. Puluhan jawaban bertebaran dalam benak tapi secepat jawaban itu terbersit secepat itu pula saya menepisnya.

Anjing

Anjing
Aku berusaha mencari anjing yang biasa berak di kepalaku mengotori tiap celah otakku. Ah, mengapa akhir-akhir ini anjing itu tak lagi datang untuk sekedar menyalak sekali dua kali kemudian berak? Ke mana gerangan anjing itu?
Malam ini langit gelap. Dingin angin bertiup menggoyangkan tirai bambu di samping jendela kamarku. Sepi. Tak ada manusia yang biasanya bicara ngalor-ngidul sambil sesekali terbahak. Tawai derai itu malam ini benar-benar tak terdengar. Ya, hujan seharian rupanya membuat manusia-manusia itu memilih diam. Berlindung di balik selimut sambil memeluk guling erat. Ya, mereka kebanyakan masih lajang. Kalau tidak maka istri mereka tinggal jauh dari tempat ini, negeri perantauannya.
Lagi-lagi aku teringat anjing itu. Malam ini aku ingin ia berak di kepalaku seperti biasanya. Tapi sia-sia. Ia tak kunjung datang. Bahkan, hingga kantuk mulai menghardikku. Ahh..penat bercampur pegel bersarang di tubuh tipisku. Kurebahkan badan dan beberapa tak lama aku pun pulas.
Tiba-tiba dalam tidur kulihat anjing itu. Namun, kali ini ia tak datang dengan wujud anjing –entah bagaimana aku tahu bahwa itu anjing yang kucari. Tapi aku yakin itu dia. Sesaat kulihat ia muncul sebagai sosok bersayap putih seperti malaikat yang sering menuntunku waktu kecil tatkala aku takut gelap. Akan tetapi, sekejap kemudian kulihat dia berubah jadi menyeramkan. Dia berubah menjadi iblis bertanduk dan berwajah merah. Aneh, wajah seram itu malah tidak membuatku takut.
Aku mendekati penampakan anjing yang biasa berak di kepalaku itu. Kuelus kepalanya. Kubisikkan setiap kata secara perlahan agar dia tenang. Benar, aku tak takut sedikit pun pada wajah seram itu. Malah, sepertinya semakin kudekat dengannya aku semakin merasa aman. Terlindungi. Bahkan, aku ingin bercengkerama, bercumbu, dan bercinta dengannya.
Aneh. Aku semakin berani mengelus wajah seram itu. Aku terus mengelus dan mengelus hingga akhirnya elusan-elusan itu menenangkannya. Dia menjadi kalem. Menurut. Bahkan, ketika kuhadapkan wajahnya ke arahku ia manut begitu saja. Jadilah wajah kami saling berdekatan dengan jarak kurang dari dua senti. Mata kami bersitatap lekat. Wajah kami kian dekat. Kemudian, semua berakhir tanpa sekat. Benar, aku dan anjing yang biasa berak di kepalaku itu berciuman. Kunikmati tiap pagutan bersamanya. Kelenjar ludah kami benar-benar telah bercampur dalam ciuman yang benar-benar dasyat. Ciuman yang benar-benar hebat.
Dan...
Tiba-tiba..
Kemudian..
Wajah seram itu berubah menjadi dia. Seketika semuanya membuatku ternganga. Heran, mengapa anjing itu menjadi dia?
**
Dia. Lelaki. Aku. Lelaki. Dia. Aku. Dia dan aku. Dia atau aku. Mengapa dia dan aku? Mengapa aku? Mengapa dia? Mengapa dia atau aku? Atau... Dia... Aku... Dan..
Lelaki itu bernama Angga. Lelaki itu bernama Krisna. Angga adalah lelaki. Krisna juga. Hanya saja, Angga mampu membuat Krisna menjadi perempuan dan melupakan bahwa dia adalah lelaki. Krisna juga. Dialah yang mampu menjadikan Angga menjadi lelaki. Mengayomi, melindungi, dan ingin dibutuhkan. Angga adalah dia. Krisna adalah aku. Angga dan Krisna adalah kami. Benar, kami dulu adalah sepasang kekasih. Dulu? Ya, sebab sekarang kami telah berakhir.
Semenjak dia tak lagi menghargai bahwa aku telah menjadi wanita. Semenjak dia tak lagi menghargai ketika payudara telah melekat pada dadaku. Semenjak dia tak dapat lagi menghisap tubuhku. Semenjak penisku telah menjadi vagina. Benar, semenjak aku telah merasa dan sangat ingin menjadi perempuan demi dirinya.
Benar. Angga mendepakku saat aku benar-benar ingin membuatnya bahagia. Aku menjadi perempuan kemudian dia meninggalkanku.
Bersamaan dengan perginya Angga, anjing yang biasa berak di kepalaku itu pun tak pernah lagi datang. Hingga malam itu. Malam di mana anjing itu berubah menjadi Angga. Angga yang dulu kekasihku. Apakah makna semua ini?
**
Anjing itu menjadi Angga ataukah Angga yang terlihat di mataku dengan wujud yang berubah-ubah? Malaikat, setan jahat, lantas anjing? Aku tak peduli. Segera kuhempas tubuh Angga yang masih tampak setengah anjing di mataku. Oh, benarkah Angga siluman anjing atau mataku yang telah tidak waras?
“Krisna, akulah anjing yang selalu berak di kepalamu.”
“Anjing.”
“Akulah yang selalu kamu rindukan”
“Anjing?”
“Aku yang selama ini selalu menidurimu.”
“Anjing!”
“Anjing?”
“Anjing yang telah meninggalkanku karena aku menjadi perempuan?”
“Anjing?!”
“Anjing yang telah mengakhiri sebuah komitmen hanya karena sebuah kelamin”
“Anjing.”
“Benar. Kamu anjing, Angga!”
Angga mengelepar-gelepar setelah itu. Tubuhnya masih tetap berwujud setengah anjing. Angga terus berteriak. Meraung dan ia pun tak sadar ketika suaranya mulai berubah menjadi gonggongan seiring dengan bibirnya yang telah berubah menjadi moncong dan hidungnya yang otomatis menjadi hidung anjing.
“Kamu memang anjing,Angga!”

Di Pojok Taman Bekas Kebun Binatang

Di Pojok Taman Bekas Kebun Binatang
Malam masih sedemikian pekat. Detakan jam dinding itu bagai langkah-langkah yang siap menggiringku menuju kesepian tak bertepi. Aku terjaga, sedari tadi. Hingga pagi terjelang.
***
Aku tersudut di taman ini. Sendiri. Dedaunan beringin jatuh perlahan tak berdaya menahan desahan angin. Kunikmati tiap bunyi kresek dedaunan kering yang beradu gesek dengan seretan langkah yang diganduli keraguan. Angin menampar wajahku sedikit membuat wajah pucatku terpoles setitik hangat mentari pagi ini. Embun mengapa engkau berlalu? Tidakkah kau ingin mentari menyebadanimu?
Aku terpatut pada air kolam di hadapku. Tak kutangkap bayanganku dipantulkannya. Kulihat hanya beberapa ekor serangga yang sibuk mempertahankan hidupnya yang di ujung tanduk –salah siapa kau harus jatuh ke kolam itu?
Air kolam itu tak jernih. Hijau. Tertutup dedaunan yang jatuh kemambang di permukaannya. Kuambil sebongkah batu. Kulempar. Blung. Batu itu tenggelam. Dedaunan pun tersibak. Kunikmati air kolam itu. Jernih. Tapi, aku tak terima. Kulempar sebongkah batu, kali ini lebih besar. Blung. Batu itu lagi-lagi tenggelam. Tapi, mengapa lagi-lagi air kolam itu tak mengeruh? Ayo mengeruhlah! Biarkan kekeruhanmu memvisualkan keruhnya benakku! Ayo, mengeruhlah! Bangsat! Mengapa kau terdiam?
“Selamat pagi, Dizza!”
Bayanganmu tiba-tiba menyeruak dari dasar kolam yang barusan kuumpat. Sedang apa dirimu di situ? Aku membatin. Melongo. Hanya menatapmu. “Mengapa tak kau jawab salamku,Dizza?” Aku tetap diam. Mataku terasa panas karena lama menatapmu. Aku kerjap-kerjapkan mataku agar kembali normal. Seluas senyum kau lempar padaku “Tidakkah kau merindukanku?”. Kupalingkan muka dirimu. Kalimatmu barusan laksana badai menghantam. Semestinya kau tak bertanya. Tidakkah mataku telah bicara? Aku tak ingin semuanya diverbalkan lewat bahasa bibir, aku takut perasaan terdalmku akan luntur! Tapi, mengapa kau masih bertanya? “Cinta….?!”
“Tidak! Jangan panggil aku cinta. Panggil aku iblis. Aku membencimu. Aku tidak pernah mencintaimu!”. Peluh membasahiku. Kata-kataku terbata. Tenggorokanku memanas. Bahasa tubuhku mengisyaratkan emosi tak beraturan. Aku kembali mengingkari nurani. Kembali aku menuruti ego. Aku malu mengaku cinta padamu. Aku takut kalah. Aku tak ingin kau menang. Aku khawatir kau akan besar kepala kemudian menganggapku sebagai koloni yang berhasil tertaklukkan. Tidak, tidak, aku tidak akan pernah mencintaimu. Ah, tapi aku mencintaimu. Bagaimana ini? Ah, keparat! Kau kemabali meracuniku dengan kegamangan. “Pergilah, aku tak ingin kau hadir di sini!!”. Aku kembali mengumpatmu, kembali kutangisi egoku.
“Cinta, kau tetap tak berubah. Baik, aku pergi. Berteriak dan panggillah namaku bila kau telah berubah pikir. Selamat pagi!”. Kau balikkan badan, pasti melangkah meninggalkanku. Aku begitu benci dengan diriku, mengapa aku begitu angkuh?
“Tunggu,,!”
Teriakkanku menahan langkahmu. Kau putar badan, kembali menghadapku. Seluas senyum kau simpul. Ah, senyummu begitu manis meski terkadang kerap membuatku sakit. ”Tidak. Aku membencimu. Pergilah!”. Mengapa aku mengatakan itu? Semestinya kukatakan: “Jangan, jangan pergi. Ucapkan bahwa kau mencintaiku, sekali lagi!.” Kau kembali melangkah. Tak ada semburat kecewa di dirimu. Seolah kau begitu yakin kalau aku akan kembali memanggilmu. “Tunggu, jangan tinggalkan aku!” teriakanku kembali menahanmu. Kau tak segera berbalik ke arahku. Seolah kau sedang menanti kelanjutan kata-kataku barusan. Aku bingung. Lama aku terdiam, tak mengerti apa yang harus kukatakan. Kupukul-pukul kepalaku, berharap satu gagasan muncul dari sana. Tapi tak ada. Aku semakin panik. Tengkukku memanas. Jangan, jangan pergi! Ingin sekali kuucapkan kalimat itu lagi saat kau beranjak hendak mengayun langkah, “Tunggu!”. Kini teriakkanku benar-benar tak lagi dapat mencegahmu. Aku tergagap. “Ya..ya… aku mencintaimu,Asmara!”. Kauhentikan langkah, berbalik ke arahku untuk ke sekian kali. Kau ulurkan kedua tanganmu, aku menghambur ke arahmu, berusaha memelukmu, memebenamkan wajahku di dadamu, hingga tiap denyut jantungmu menggetarkan membran kupingku. Secepat mungkin kuberlari menggapaimu, berlari, berlari dan berlari hingga dirimu pun begitu dekat denganku. Tapi, tatkala aku ingin merengkuhmu…
”Tidak……..”. Teriakkanku mencuri fokus orang-orang yang berada di taman ini. Mereka aneh memandangku. Engkau hanyalah ilusi, kau tak ada di sini. Kau jauh di antah berantah. Aku terinroyeksi olehmu. Tapi, mengapa, kurasa, ini begitu nyata? Benarkah kau pasangan jiwaku yang sesaat lagi menyapa?
Kupahatkan kata per kata pada kertas tak bergaris ini
Kusedang menanti
Entah siapa
Kubiarkan waktu berlari
Toh, ia akan membawamu kemari

“Pagi, Dizza! Sudah lama nunggu ya?”
“Siang tepatnya! Relatif. Kondisional. Kita janjian jam tujuh. Sekarang hampir jam sembilan. Dua jam aku di sini. Jika dalam hitungan dua kali enam puluh menit itu dianggap lama untuk menunggu kedatangan seseorang maka akan kujawab aku telah lama menunggumu. Tapi bila waktu hanya dianggap sebagai deretan angka yang berlari, itu berarti aku baru sebentar menunggumu!”.
Wajahnya tetap cuek. Seolah tak ada salah. Namanya Ciptaranggeni. Aku biasa memanggilnya Cipta saja. Kukenal dia dua tahun silam, entah bermula dari mana awalnya, aku lupa. Kulihat ia mengambil sesuatu dari dalam tas dagadu leceknya yang entah telah berapa lama tak tersentuh detergen. Aku pura-pura tak melihatnya.
“Ini untukmu,Dizza!”. Disodorkannya setangkai mawar putih padaku.
“Tidak usah sok romantis. Aku tak suka. Jadi, hanya untuk hal semacam ini kau membuatku jamuran di sini? Lagian aku tak ingin ucapan cinta lewat bunga, tapi ucapkan cinta dengan berani,Bung!!”. Kuakhiri kalimatku dengan gelak tertawa, tapi aku terdiam segera ketika kulirik ia tak bergeming menatapku. Tak seperti biasanya makhluk ini begitu serius.
“Aku serius, aku mencintaimu Dizza!”
Akting apalagi ini, pikirku. Aku terdiam. Kutatap matanya dalam. Kutelusuri tiap lekuk korneanya. Aku kikuk. Tak mungkin. Mengapa pandangan itu hari ini lain, tidak seperti biasanya?
“Aku mencintaimu,Dizza!”
Lagi-lagi aku terdiam. Bibirku beku. Aku berlalu tak menghiraukannya. Tapi sebelum benar aku meninggalkannya di pojok taman bekas kebun binatang ini, aku sempat berbisik padanya. “Aku ragu. Benarkah dirimu belahan jiwa yang baru saja kulamunkan sewaktu menunggumu? Maaf. Tapi biarlah waktu yang bicara. Akankah esok, lusa, minggu depan, atau kapan pun saatnya kita dipertautkan dalam cinta. Terima kasih mawar putihnya, meski tak suka, tapi aku bahagia mencium aroma tas bututmu yang menempel padanya!”

Dia

Dia
Mencoba untuk pejamkan kedua mata. Tak bisa. Hanya tenggorokan terasa kering. Haus. Sialan, stok air habis, umpatku. Mencoba ‘tuk dapat kembali terlelap. Tetap tak bisa. Malah teringat “dia”. “Dia” yang kemarin mengirimiku pesan bertulis: “ada apa say? Untuk kali ini aku tak bisa telepon atau pun ngebales. Jadi, kamu SMS saja. Ada apa tho?.” Tak segera kubalas pesan pendek yang dikirim bukan dengan nomor hp-nya sendiri itu. Kupikir, SMS itu biasa, tak ada yang salah. Namun, ternyata tidak. Pikiranku nglantur. Dan, pesan itu pun berubah menjadi : “Cinta, ‘met bobo ya! Aku sayang kamu.”
Gila. Hentikan. Aku tak ingin jatuh cinta –lagi?
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**
“Dia”. Lelaki yang berhasil mencuri hatiku sekarang ini kukenal dua tahun silam. Mestinya aku tak boleh mencintainnya. Mengapa? Karena sebuah alasan yang sudah teramat gamblang: “dia” tak pernah mencintaiku, kata mereka. Bahkan, “dia” mengaku sendiri di hadapku bahwa dirinya mencintai waanita secantik dan seseksi Jenifer Lopez. Bukan, seperti aku. Sebuah lahan tandus yang hanya mampu menjadikan benih gabuk. Sungguh, aku tahu, “dia” tak pernah mengharapkan aku.
Tapi, mengapa kami selalu saling mencuri lihat? Memandang saat jarak masih jauh? Bahkan, meski semua seolah tampak wajar, kami menikmati tiap pelukan dan sentuhan yang acap kali terjadi. Tak jarang, saat “dia” berujar kesal karena tak ada yang menghargai dan membutuhkannya maka mantap aku berucap, ”Aku membutuhkanmu untuk tetap bisa bernafas.”. Kami pun tertawa bersamaan. Tawa yang dipaksakan. Tawa yang semestinya berubah menjadi keseriusan karena perasaan terdalam telah terlontar tak pernah terjadi.
Ah, kisah macam apa ini? Mengapa tak ada keberanian? Ingin kuakhiri tapi....
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**
“Dia” tak datang memenuhi janjinya seperti biasa. “Dia” memang selalu begitu. Mengumbar kata ya dan anggukan pada semua seolah mampu melakukan semua sekaligus dalam bersamaan. “Dia” memang selalu begitu. Hanya ingat mereka –teman-temannya- bukan aku. Bahkan, aku sering merasa “dia” tak ada saat kubutuhkan. Ah, memangnya aku ini siapa. Aku bukan siapa-siapa apalagi pacar. Kalau sudah begitu aku hanya berucap,”Dasar lelaki tak berguna. Di mana engkau saat aku perlu?”. Dan, selalu saja, dia memang begitu. Membalas semuanya dengan tawa. Tawa yang teramat tidak bagus. Taawa yang membuat sakit telinga bagi yang mendengarnya. Tentu saja, tawa yang membuat wajahnya semakin tak karuan. Ah, kalau sudah begitu aku pun tak sanggup lagi untuk tidak juga tertawa.
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**

10.30
Aku bertemu “dia”. Entah magnet apa yang menyeretku untuk mendekatinya. Aku tak ingin lagi bicara dengan “dia”, semula. Namun, toh semua itu sia-sia ketika hari ini “dia” datang setelah berhari-hari kami tak bertemu. “Dia” mengurai semua alasan mengapa “dia” tak ada selama ini. Tak kugubris semua itu. Kemudian, lagi-lagi, aku berujar, ”Dasar lelaki tak berguna!”. Kupikir “dia” akan tertawa seperti biasanya. Ternyata tidak. “Dia” mengulang kalimat itu dengan intonasi yang tak kutahu entah apa maksudnya. Perlahan aku lebih mendekat padanya. Kemudian, kurengkuh pundak itu. “Kamu tersinggung?” tanyaku. “Dia” membuang pandang. Aku yakin “dia” tersinggung. Aku berusaha membuatnya menatapku dengan merapatkan tubuh. Benar, kami bersentuhan. Darahku seolah mendidih. Benar, aku ingin “dia” mendekapku. Tapi, aku tak ingin larut dalam kondisi semacam itu. Kunetralisir semuanya dengan pura-pura tak peduli dan kembali menjaga jarak dengannya.
“Aku tak suka orang yang terlalu suka menonjolkan diri,” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibirnya.
“Jadi, kamu tidak menyukai aku?,” aku keceplosan. Tak seharusnya kuucap kalimat itu, sesalku.
“Sudah pasti....,” ”dia” tak langsung melanjutkan kalimatnya, ”Aku menyukaimu,” lanjutnya sembari memutar badan membelakangiku.
Aku mendengarnya, melihatnya, kemudian kuterdiam. “Dia” memang selalu begitu.
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?

Dosen, So What?!

Dosen, So What?!
“Oh, My God!”
“Iya. Bener. Gue nggak becanda!”
“Elo jadi dosen?”
“Gue nggak bisa ngebayangin”
“Maksud lo?”
“Gue nggak bisa ngebayangin gimana ntar lo ngajar, ketemu mahasiswa, an so on..”
“Gue datang ke lo bukan buat diledekin, tau!”
“Sorry, say! Not supposed to be… By the way, lo yakin?”
**
Tidak tahu. Aku menyimpan jawaban itu dalam hati. Hal yang sama aku lakukan untuk setiap pertanyaan senada yang dilontarkan tak hanya oleh teman baikku tapi semua orang yang merasa mengenalku.
Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. Di satu sisi, aku merasa bahagia karena dari sekian pelamar salah satunya aku yang diterima. Di sisi lain, aku takut dengan dengan dunia ini : dosen?
Penuh orang-orang serius, birokrasi, prosedural, argumentasi yang kadang mengada-ada, serta hal-hal lain yang selama ini tidak aku suka kini hampir tiap hari aku temui. Lama-lama, Aku bisa gila…
**
“Dijalanin dulu, Di! Liat ‘tuh di luaran, banyak yang masih pontang-panting nyari kerja nggak dapet-dapet..”
“Tapi Dian ngerasa itu bukan dunia Dian sekarang Bu!”
“Mbok ya kamu jangan mengada-ada Di.. Pas kamu ketrima di jurusan komunikasi kamu bilang nyasar. Kerja di radio yang dibilang teman-temanmu cocok buat kamu pun sekarang buktinya kamu keluar. Padahal, kamu dulu juga bilang “This is my world!”. Sekarang, dengan entengnya kamu bilang ngajar bukan duniamu? Lantas, besok apalagi Di?”
“Di kampus itu dipenuhi oleh basa-basi, ngomongnya panjang, muter-muter, tapi ujungnya Cuma satu : merjuangin kepentingannya sendiri. Bahkan, ada yang lebih parah dari Dian. Mengatasnamakan pendidikan untuk nyari keuntungan. Capek dech, Bu! Dian bisa gila lama-lama Bu..”
“Maksud kamu, mau keluar lagi? Atau ngerasa nggak cocok lagi?”
Cuma hempasan nafasku yang menjawab.
“Sebelumnya, di radio dulu kamu juga kayak gitu! Padahal kamu khan menyukai dunia itu. Siaran, musik, ketemu orang…”
“Itu lain soal, Bu..”
“Lain soal bagaimana?”
“Dian nggak mau ngebahasnya lagi. Kita sudah pernah ngomongin itu”
“Iya. Tapi kamu baru ngomong setelah kamu resign khan? Bahkan, sampai sekarang pun kamu belum ngasih alasan yang jelas tentang keputusanmu itu tho?”
“Apalagi yang belum Dian critain, Bu?”
“Ibu nggak habis pikir, sebenarnya apa yang kamu cari, Di!”
“Ibu nggak bakal habis pikir kalo ngerasa bekerja keras tapi digaji kecil kayak Dian”
“Loh, itu tho masalah yang sebenernya?”
Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. “Trus, di kampus tempatmu ngajar itu juga kamu bakal digaji kecil juga?” ibu bertanya hati-hati sambil perlahan menghampiriku.
“Di..tolong dengerin ibu kali ini ya. Nggak selamanya semua hal itu dibalas dan dinilai pake uang. Siapa tahu ini Cuma jalan yang kamu mesti lalui dulu sebelum tujuan kamu itu tercapai”
“Tapi Dian ingin kaya Bu..”
Ibu tertawa mendengar jawabanku.
“Masa ibu dosen jawabannya kayak gitu…”
“Apa salah kalo punya keinginan jadi kaya? Dian juga nggak mau kalah sama temen-temen Dian yang lain. Apalagi, sekarang Dian denger mereka ada yang gajinya udah gede banget..”
“Dian..kayaknya ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi materialistic kayak gini..” Ibu berujar dengan nada setengah kecewa.
“Dian Cuma pingin ngebahagiain Ibu..”
“Dengan cara seperti ini? Dalam setahun pindah kerja dua kali?”
“Dian ngambil minum dulu bu” Sengaja aku mencari alasan agar bisa menyusun argumen yang tepat.
“Di, jadi dosen itu panggilan. Kepuasannya tidak dihitung dari materi” Ibu melanjutkan omongannya. Air es ini begitu dingin. Gerahamku terasa sedikit ngilu.
“Itu Dian juga sudah tau, Bu!”
“Trus, apalagi masalahnya?”
“Masalahnya, dengan jadi dosen Dian nggak bakalan bisa cepet kaya!”
“Dian, ibu nggak pernah ngelarang kamu buat jadi kaya. Tapi ibu akan lebih senang kalo kamu jadi manusia yang kaya hati..”

**
Kaya hati? Dua kata itu seolah tak asing lagi di kupingku. Bahkan, di bibirku juga. Aku sering mengucapkannya. Bahkan, tak jarang aku memakainya sebagai saran bagi teman-temanku yang kebetulan datang membawa masalah. Lantas, kenapa sekarang aku melupakannya? Bukankah rejeki itu sudah ada yang ngatur?
**
“Selamat pagi, Saudara-saudara…Kita mulai kelas kita hari ini!”

Inspired by:
My old friend
“Finally, I follow your flow”

Dua Sisi

Dua Sisi
Kuawali semuanya dari putih, dari nol. Hidup wajar masa kanak-kanak yang begitu indah, seolah tanpa cacat. Bunda selalu berkata, ”Jadilah anak yang baik, berguna bagi bangsa, negara,dan agama. Jalankanlah hidup yang lurus-lurus saja, ’nggak usah neko-neko, ’ntar malah keblasak, kesasar! Kalau sudah begitu susah nyari jalan tembusnya!”. Saat itu aku terdiam, mataku setengah ngantuk sehingga nasihat itu berlalu begitu saja, bungentuwa, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Aku terlelap di atas pangkuan bunda.
“Pagi, Pierre!”
“Hi pagi juga, Mastral! Tumben hari ini kamu tidak telat?! What’s wrong?!”
“Ah kamu ini selalu saja sok perhatian dan senang ngurusin orang lain. Seharusnya kamu senang donk aku bisa mereform habit yang selama ini kamu gunakan untuk mengolokku di depan bos!”
Keduanya tertawa lalu kembali larut dalam kerja. Ruangan itu berukuran 4x6 meter, AC-nya tak begitu terasa, dipenuhi nuansa biru, tak begitu indah. Tapi di situlah kedua pria lajang itu selalu menghabiskan 10 dari 24 jam harinya dengan menongkrongi screen komputer beradiasi tinggi, bercanda dengan imajinasi, mengocok dan mengaduk-aduk isi kepala serta menggali sumur untuk mendapat sumber air yang menyelamatkan pikirannya dari kekeringan.
**
Aku tak tahu entah sejak kapan aku mulai tercebur dalam kubangan hitam ini. Demikian pula, bila kau bertanya mengapa aku tak pernah menitikkan air mata.
Lebih kurang sepuluh tahun silam mungkin terakhir kalinya aku menangis. Ketika aku kehilangan orang yang paling dekat denganku. Nyaiku. Setelah itu, kelenjar air mataku seolah mengalami suddenly disfunction bahkan ia tak keluar setetes pun ketika kepedihan menderaku.
Ya, ketika bapakku yang telah bertahun-tahun menghilang –aku tak ingin tahu ke mana ia raib- membacok ibu. Hanya gara-gara ia protes mengapa lelaki yang tak pantas menyandang predikat bapak itu tidur dengan perempuan anjing yang hampir setiap malam mangkal di perempatan jalan menjajakan payudara yang dilher begitu saja.
Sejak itulah aku membenci lelaki –pernahkah kau ingin mengutuknya? Mungkin kamu tak akan sanggup melakukannya. Apalagi saat libidomu naik, kau pasti menginginkan mereka menidurimu hingga kau tersedak sekarat dalam orgasme.
Tapi, tidakkah kau pernah berpikir untuk mengganti sekerat tulang rawan itu dengan mesin vibrator hingga kau pun tak lagi membutuhkan mereka? Biarlah kau menganggapku narsisistik, aku tak peduli!
Bahkan, kebencianku terhadap kaumnya Adam itu benar-benar mengklimaks ketika dengan terseok aku menyisir setiap ruas jalan mencari sesuatu untuk mengganjal perut yang sudah 36 jam tak terisi –bukankan aku hebat?. Gang itu begitu gelap. Tak ada lampu menerangi hanya temaram cahaya bulan dan sedikit bintang –mestinya aku bahagia saat itu- yang menyapu tiap sudut dinding yang dipenuhi umpatan dan gambar-gambar yang tidak nyeni sama sekali.
Di pojok tenggara dari gang sempit itu kulihat empat pemuda berpesta pora menenggak alkohol murahan, rambutnya ngepunk, pakaiannya ngepas di badan yang ceking dengan tindik bertebaran di mana-mana. Kuselonjorkan kaki yang serasa ingin patah, kudengar suara cacing dalam perutku yang mulai berdemonstrasi menuntut dikasih makan. Kucoba mengatubkan mata sambil membayangkan enaknya paha ayam bakar dan hangatnya nasi kebuli untuk mengusir laparku. Baru semenit yang lalu aku merasa kenyang lalu tertelelap, aku telah terbangunkan oleh suara ocehan orang-orang yang terdengar sangatlah mabuk, sakau mungkin. Perlahan kubuka mata lalu kukerjap-kerjapkan, kantukku pun seketika menghilang. Keempat pemuda yang semula berada cukup jauh kini telah berada pada jarak kurang dari setengah meter dari tubuhku. Mereka saling maki dengan umpatan-umpatan kotor, memutariku seolah berebutan. Tangan mereka mulai menjambak rambut kusutku. Tunggu, kulihat salah satu dari mereka mulai memplorotkan resleting jinsnya, kemudian….
**
Di sebuah kafe yang berlampu temaram terdengar alunan solo organ, entah lagu apa yang dimainkan. Tak ada seorang perempuan pun di sana. Manager, waiters, dan tamu-tamunya semua berjenis kelamin sama, lelaki! Di meja nomor tujuh di pojok sebelah kanan di bawah remang dan kerlipan mirror ball.
“Pierre, aku mencintaimu!”
“I love you too, Mastral!”
Keduanya saling meremas tangan masing-masig kemudian larut dalam lips kissing yang begitu dasyat. Tak ada yang protes, no prohibition, it’s their own world. Wajar, kafe itu memang kafenya orang-orang yang tidak mengharapkan perempuan. Perempuan adalah racun bagi mereka. Itu bukanlah tindakan aneh justru aneh bila lelaki dan perempuan melakukan ciuman di tempat seperti ini.
“No woman no cry!”
“That’s right. Wanita hanyalah poison bagi kita. Hanya berguna untuk mematikan, lain tidak!”
“Eit..you’re wrong. We still need ‘em to bear us!”
“Iya. Aku lupa. Itu satu-satunya kelebihan mereka. Bisa beranak!”
Keduanya tertawa lepas. Menikmati hidup. Bebas tanpa beban. Benar-benar a happy together world.
**
Aku merasa selangkanganku perih dan sakit. Kulihat darah yang belum benar-benar kering membasahi kakiku menyisakan noda kemerahan pada rok bawahanku yang sudah carut marut tak berbentuk dan bercak-bercak sperma yang muncrat ke mana-mana. Aku berusaha menemukan celana dalamku yang entah hilang terlempar ke mana. Aku meringis, berjalan dengan kaki terseret. Tak kuhiraukan lagi dinginnya malam yang menggerayangi setiap sisa keindahan tubuhku yang telah tercemar. Aku terlalu kuat dan tegar untuk mengalami psyco traumatic atau pun sensoric trauma yang sering dilontarkan dalam seminar-seminar psikologi yang membahas kondisi jiwa korban pascaperkosaan. Tapi aku tetap benci lelaki!
Entah siapa yang membaiat diriku utnuk menjalani profesiku yang sekarang, seorang pelacur kelas kuli dan sopir. Tidak membuatku sekaya para pejabat korup yang makan uang rakyat atau pun para aktivis yang sering berkoar-berkoar ingin memperjuangkan dan membela hak orang semacam aku tapi yang sebenarnya hanyalah menjadikan kami sebagai tameng untuk memupuk kekayaannya, tapi cukuplah uang yang kuperoleh dalam semalam setelah dikurangi jatah induk semang dan sejumlah pungli beberapa polisi kota untuk sekedar mengisi perut dan membeli bedak serta gincu seharga lima ribuan.
Haruskah aku menyalahkan Helen yang kerap di sapa tante oleh teman-temanku –kecuali diriku sebab aku terbiasa memanggil namanya saja. Dia seorang germo yang baik di mataku. Dia yang mengentasku dari jalanan gadis korban perkosaan kemudian mempermak diriku menjadi seorang kupu-kupu malam primadona di kompleks lokalisasi ini. Aku bisa mendapatkan duit dengan tidak harus keluar keringat terlalu banyak. Cukup menyediakan tubuhku menjadi santapan lelaki yang mengapa selalu tidak puas hanya dengan satu wanita. Dasar lelaki!!!
Kenalkan, ini Marie sahabat sekaligus kekasih. Maaf, aku tak bilang dari awal. Tapi jangan terkejut. Aku memang lesbian tapi sumpah aku tidak pernah melakukan hal itu. Mungkin inilah yang disebut platonist, sebuah kisah asmara tanpa terkontaminasi oleh orientasi seksual? Kurasa penjelasan pun tak dibutuhkan untuk menjawab mengapa aku begini. Mencintai tidaklah harus selalu beralasan, yang terpenting kebahagiaan. Itu saja. Titik.
1 Januari 1999. Happy new year. Hari keberuntungan sekaligus hari naasku. Seorang bule kelahiran negeri Ratu Elizabeth, Mc O’brien namanya. Dia membokingku sejuta untuk menemaninya tidur. Malam ini aku kaya, pikirku. Ia membawaku ke sebuah losmen kecil di pinggiran kota. Ia menyuruhku duduk di pinggir kasur lalu tanpa disuruh aku pun menanggalkan sackdress yang melekat di tubuhku. Dia menghampiriku. Melemparkan seutas tali yang dirigohnya dari celana. Kuikat tanganku di salah satu tiang ranjang sesuai perintahnya. Kupikir, inikah permainan gaya baru yang lagi in? Kulihat ia sudah bertelanjang dada. Ia kini sedang melolos sabuknya. Belum sempat aku berpikir mengapa lelaki bule ini tidak bertingkah seperti lelaki lain yang biasanya langsung buas melahapku, ia telah mencambukiku dengan ikat pinggang kulitnya. Sakit. Entah sudah cambukan yang ke berapa, aku tak merasakannya. Aku hanya diam seperti biasa. Pasif tanpa reaksi sebab aku memang tak tertarik untuk bersenggama dengan lelaki apalgi dengan cara seperti ini telah menambah kebencianku pada lelaki. Kulitku gosong membiru bahkan ada beberapa bagian yang mengelupas. Lelaki bule bangsat itu kulihat kelelahan. Kukira ia akan segera mengakhiri ini semua, ternyata tidak. Suddenly he put his trousers off then ate me! Fuck you! Bedebah. Keparat. Aku benci lelaki di dunia ini!!
**
Tujuh bulan kemudian di kafe yang sama serta di pojok yang sama pula. Pierre dan Mastral saling duduk diam berhadapan. Keduanya tertunduk. Tak ada kata yang terwakili. Aneh. Tak seperti biasanya. Jakun keduanya tampak turun naik seolah tengah bersiap mengucap sederet kata yang teramat sulit untuk terucap. “Aku ingin semuanya berakhir!”. Empat kata yang terangkum dalam satu kalimat itu mereka ucapkan secara bersamaan tanpa komando dengan intonasi seru –mengapa begitu sulit?
Empat puluh delapan jam, 20 menit kemudian. Tidak di kafe yang sama.
“Pierre, kenalkan ini Nathalie”
“Kenalkan juga. Ini Priscilia, gadis librarian yang kuceritakan padamu dua hari lalu”
Mereka saling bersalaman. Mengenalkan kekasih barunya. Apa yang merubah mereka? Tak ada. Hanya saja mereka telah mengakhiri kisahnya. Tak ada sequel baru, cukup sampai di situ. The end of the story.
Di hari yang sama, di sebuah bangsal rumah sakit.
Aku tergolek lemas tak berdaya, kulitku memucat, rambutku bertahap merontok, dan tubuhku mengurus. Tak ada yang tersisa dari diriku kecuali kebencian yang mendalam pada makhluk yang bernama lelaki.
Tiga bulan setelah malam itu. Aku sering merasa kehilangan tenaga, nafsu makanku hilang hingga penyakit mudah menjangkitiku, segera kupergi ke dokter. Aku tak ingin sakit sebab sakit bagiku kehilangan pendapatan, tak bisa makan! Dua hari kemudian dokter memberi hasil testnya, kau mungkin sudah bisa menduga apa hasilnya. Tepat, dugaanmu tak meleset. Aku terinfeksi penyakit itu. Penyakit yang sudah lazim menjangkiti orang-orang dengan profesi sepertiku. Aku tak terkejut, ini risiko yang harus kutanggung. Tapi bukan berarti dunia berhenti berputar. Aku masih butuh makan sebelum ajal benar-benar merenggut. Kubiarkan tubuhku tetap menjadi piala pila bergilir dari dekapan satu pria ke pria lainnya,dari losmen ke losmen dan akhirnya aku dapat menuntaskan sakit hati dan kebencianku. “Ha..ha.haa! lelaki tetaplah lekaki. Tak pernah bisa melihat kesempatan lewat begitu saja. Apalagi keindahan tubuh pelacur yang tergolek menantang di ranjang. Mereka tak pernah berpikir aku akan mengakhiri hidup dan mempercepat proses kematiannya!”
Marie manatapku iba. Dialah satu-satunya yang masih sudi menemaniku. Tak kubiarkan ia menangis lalu kukatakan padanya,”Aku tidak akan mati. Tangisan hanyalah untuk mereka yang kalah. Aku telah memenangkan pertarungan ini. Aku rela tuhan membakarku dalam api neraka karena Dia tak mengampuniku sebab aku tahu aku tak akan pernah memaafkan mereka,karena aku tau aku membenci lelaki!”.
Marie menatapku kembali, kali ini tidak dengan tatapan iba melainkan kebencian terpancar dari sepasang bola matanya,entah ditujukan pada siapa. Dengan membanting pintu ia berlari meninggalkan ruangan ini. Baru setelah itu kutersadar kebencian itu ia tujukan padaku. Aku lupa, Marie dulunya juga seorang lelaki.Tetapi, persetan dengan Marie!!!

Maduku

Maduku

Dalam kesendirian, aku mencoba mereka ulang raut wajahmu. Kupaksa otakku lebih aktif lagi bekerja. Tak kuedit tiap salah gores asaku tentangmu, meski sedikit, kesalahan itulah yang membuatku makin menggilaimu.
Detik ke sembilan dari menit ke sembilan belas lepas dari jam enam petang. Aku tersungkur bak onggokan sampah di atas pembaringan yang tak lagi kurasakan kenyamanan di sana. Pikirku menerawang. Menyusuri tiap gang sempit di mana kita pernah bergandengan menikmati hangatnya tiap gesekan kulit dan desiran darah yang tiba-tiba mengalir lebih cepat ketika pandangan saling beradu. Aku menatapmu. Kau pun menatapku. Tak ada suara. Seolah keheningan benar-benar menjadi ilustrasi yang tepat untuk adegan kita saat itu. Tapi aku tak tahan dengan kesenyapan ini. Perlahan kurengkuh kedua tanganmu. Kubiarkan kau merasakan debaran jantungku –aku tak tahu mengapa hari itu aku bergitu berani.
“Aku tak tahan harus selamanya begini!”
“Tidak selamanya”
“Tapi sampai kapan?”
“Biarkan waktu yang menjawab”
“Aku muak dengan jawaban itu. Waktu begitu lambat. Belum lagi, jawaban yang diberikannya seringkali membuat luka!”
“Jangan apriori!”
“Pasrah sepertimu? Tidak akan!”
“Tapi aku mencintaimu!”
“Kau memang egois. Di saat kau ingin bercinta. Kau baru ingat aku. Setelah puas, kau akan kembali memakai kedokmu. Berpura-pura menjadi suami yang baik dan bercengkrama bersama anak-anakmu yang lucu. Alangkah bahagianya?!”. Suaraku mulai tersendat. Aku ingin menangis tapi harga diri melarangku untuk meneteskan air mata di hadapannya. Tak ingin aku kelihatan mengemis cinta terhadapnya.
“Mengapa kau ingin merusak suasana indah ini dengan perdebatan tentang hal itu lagi?”
“Ah, sudahlah! Kau memang payah!”
Aku meninggalkannya. Ini bukan kali pertama hal semacam itu terjadi. Hampir bisa dipastikan, tiap akhir pekan, setelah makan siang, setelah check in di motel terdekat, kami akan berjalan-jalan mengitari taman ini. Setelah kecapekan, kami akan duduk di salah satu bangku atau berdiri saling mematung untuk kemudian memulai perdebatan yang akan mengakhiri kencan akhir pekan itu. Ya, aku sadar. Aku hanya orang ke tiga dalam rumah tangganya.
**
Sebulan sudah kami tidak bertemu. Dia yang selalu menghubungiku. Di kantor, rumah, ponsel, bahkan sampai menguntit ke mana aku pergi. Aku berusaha tidak menemuinya. Aku menghindarinya. Ah, tapi ternyata itu bakan hal yang gampang. Wajahnya selalu saja hadir di pelupuk mata saat aku sendiri. Aku mulai merindukannya. Aku haus belaian lembut tangannya di atas dinginnya kulitku. Aku ingin kembali merasakan hembusan nafasnya menerpa tengkukku untuk kemudian kami larut dalam atmosfir cinta yang semestinya tak boleh.
Aku melirik ponsel di sebelah kananku. Aku merindukannya. Aku butuh dia. Aku harus bertemu dia hari ini, pikurku. Kuraih ponsel itu. Kubuka menu message lalu kuketik : aku kangen. Bisa ketemu? Kutunggu di tempat biasa. Aku baca berulang-ulang kalimat itu. Aku ragu menekan tombol OK agar pesan itu terkirim. Kubaca sekali lagi, tak ada yang berubah. Kutarik nafas dalam-dalam lalu dengan mata terpejam kutekan tombol OK. Message sent. Tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Aku lega. Kembali akau terdiam. Termangu. Pikiranku menerawang lagi-lagi. Antara menyesal dan lega berbaur. Tapi, tidakkah aku terlalu berani? Mengemis cinta padanya?. Tiba-tiba hp-ku berteriak. Kulihat nama yang muncul pada LCD-nya. Andreas. Kubiarkan ringtone ponselku terus mengerang. Aku takut menerima telponnya meski aku sangat ingin mendengar suaranya. Akhirnya ringtone itu diam dengan sendirinya. Dia menutup telepon. Mengapa dia begitu mudah menyerah? Telpon aku sekali lagi, batinku. Hp-ku berdering sekali lagi. Nama yang sama muncul. Aku tak ragu lagi, kujawab telponnya.
“Halo”
“Diza. Kenapa tidak segera diangkat?”
“Aku lagi mandi,” aku berbohong.
“Jam segini mandi?”. Dia tahu aku sedang berbohong.
“Sudahlah tak penting kenapa. Bagaimana, bisa nggak?”
“Sorry besok aku ada janji sama Bayu pergi ke toko buku”. Dia menyebut nama anak pertamanya dengan Shinta, istri sahnya, rivalku.
“Ok, nggak pa-pa. Tapi aku akan tetap ke sana dan menunggumu. Kalau kamu tetap nggak datang anggap saja semua sudah berakhir. Selamat malam!”
Telpon kututup. Aku tak peduli apa yang dia pikir tentangku. Kupejamkan mata, mencoba untuk tidur. Akhirnya terlelap juga, lega rasanya…
**
Menit ke lima belas. Aku belum letih menunggu. Kusapu tiap celah alam di taman ini. Masih seperti beberapa waktu lalu, hanya saja kulihat mawar putih di paling ujung sana telah berkurang setangkai. Aku tersenyum. Kubuka organizer yang sedari tadi tergenggam di tanganku. Di dalamnya, di antara coretan-coretan agenda meeting dan amburaradulnya jadwal terselip mawar putih yang telah mengering. Kembali aku terdiam. Pandanganku tetap terfokus pada mawar kering itu. Ya, aku tak ingin melupakannya begitu saja. Dia yang kukenal tujuh tahun silam ketika masih sama-sama aktif dalam teater universitas lantas terpisah oleh kesibukan masing-masing untuk menggapai cita tapi kemudian dipertemukan kembali di kota ini. Dan perasaan yang terpendam tujuh tahun silam itu pun bersemi kembali. Namun, apa mau dikata, rupanya nasib tak berpihak padaku. Ia telah kawin dengan rekan sekerjanya, sementara aku masih saja sibuk berkarier hingga melupakan keinginan berumah tangga. Ah, aku memang bodoh,. Mengapa tak kuungkap cinta itu dulu?
“Bodoh!”
“Siapa yang bodoh, Diza?”
Aku terperanjat. Tanpa terdengar olehku, ia telah datang, duduk persis di sampingku.
“Aku yang bodoh!”
“Tak selayaknya seorang PR Manager bintang lima semacam dirimu berkata demikian”
“Aku wanita, And!”. Aku langsung emosi, ”Istrimu juga wanita. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya jika diriku adalah Shinta. Wanita yang teramat baik tapi bersuami tukang selingkuh macam engkau, Andreas!”
“Aku tak pernah ingin berselingkuh denganmu, Diza. Demikian pula Shinta. Dia tak pernah merasa kubohongi. Malah dia sendiri yang mempersiapkan bajuku untuk bertemu denganmu!”
“Itu karena tak kamu katakan kemana dan siapa yang akan kamu temui. Jangan pikir kau dapat membohongiku seperti yang kamu lakukan terhadap anak dan istrimu, Andreas!”
“Kau memang tetap tak berubah. Masih saja keras kepala!”
“Benar, Andreas. Aku memang keras kepala. Itulah yang membuatku merasa bodoh dan tolol. Mengapa aku harus mempunyai harapan untuk tetap hidup bersamamu. Mengapa aku harus rela menjadi wanita selingkuhanmu?” aku tak lagi dapat menahan tangis. “Aku capek selalu terkejar perasaan bersalah, berdosa karena merusak rumah tangga orang lain. Apalagi istrimu yang halus budi itu, ah, betapa terkutuknya aku, Andreas!”. Isakku semakin menjadi sampai-sampai aku tak sadar Andreas telah berdiri dengan sikap aneh. Tak kuduga, Shinta telah berada di antara kami.
“Mbak Diza nggak salah. Saya yang tidak tahu kalau dulu Mbak Diza dan Mas Andreas pernah saling mencinta. Mas Andreas cuma bilang kalau tujuh tahun silam ia punya sahabat dekat wanita. Dan saya baru tahu beberapa bulan lalu kalau kalian kembali bertemu dan berhubungan. Akan tetapi, Mbak Diza saya harap juga mengerti bahwa saya juga mencintai Mas Andreas demikian pula Mas Andreas, terbukti Bayu telah hadir di antara kami.” Shinta berkata dengan tenang dan datar di saat aku benar-banar kalap, tak mesti berbuat apa. ”Mabak Diza..,” Shinta berkata sambil merengkuh pundakku lalu ditatapnya mataku, ”Mbak benar-banar mencintai Mas Andreas?”. Kubalas tatapannya. Matanya bening meneduhkan. Dia benar-benar wanita, tidak seperti aku. “Mbak Diza, tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur,” Shinta memepertegas kalimatnya. Aku hanya terdiam. Menunduk seperti pesakitan. “Kalau memang kita berdua mencintai orang yang sama, mengapa kita tidak mengabdi sama-sama kepadanya?”
“Apa maksudmu, Shinta?”
“Saya yakin Mbak tahu apa maksud saya”
“Jangan bercanda, Shinta! Maksudmu, kita berdua menjadi istri Andreas, begitu?”
“Kurang lebih demikian. Saya rela dan ikhlas bila itu demi kebahagian Mas Andreas, anak saya dan Mbak Diza sendiri. Bagaimana, Mbak?”
“Kamu gila!”
“Saya tidak gila. Saya waras. Kalau saya gila tentulah saya akan membiarkan Mas Andreas dan Mbak Diza berzina setiap saat dan saya tak menginginkan hal itu. Keinginan saya adalah kebahagian kalian berdua selain tentunya keluarga saya tetap utuh”
Aku melihat ke arah Andreas. Dia tampak lebih tenang daripada beberapa menit lalu.
“Mbak tak usah bertanya pada Mas Andreas. Saya yakin dia setuju, betul khan, Mas?” Shinta bertanya pada Andreas tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. “Mbak lihat khan, Mas Andreas telah setuju, sekarang bagaimana dengan Mbak Diza sendiri?”. Aku terdiam lagi. “Ah, saya pikir kalian berdua butuh bicara. Saya pergi dulu, Mas!”. Shinta pun berlalu menyisakan sisa keteduhan dari kata-katanya. Aku dan Andreas tetap termangu. Dia. Larut dalam pikiran masing-masing. Ya?!

Menantu untuk Bapak

Menantu untuk Bapak
Bapakku bilang, jangan pernah percaya pada perempuan. Mulutnya lebih ganas dari bisa ular paling beracun sekalipun. Perempuan adalah satu makhluk yang harus diwaspadai, ingat itu, demikian selalu kata bapakku.
Tapi, mengapa aku sekarang mencintainya? Mengharapkan perempuan itu datang menyentuhku? Sekedar bilang halo kepadaku? Benarkah aku benar-benar mencintainya?
***
Bapakku tidak pernah menikah. Entah, apakah telah tepat aku memanggil lelaki itu dengan “bapak” sebab selama ini tangan pria yang setiap saat bersamaku itu begitu lembut, perasaannya sehalus ibu, ia pandai memasak, bahkan ia, kurasa, lebih keibuan dari sekian banyak ibu teman-teman yang kukenal. Lebih dari itu semua, lelaki yang baru beberapa tahun silam kupanggil bapak itu –sebelumnya kau memanggilnya ibu- dalam kesehariannya memakai rok, pakaian wanita. Tidak salah, aku dibesarkan oleh seorang banci, wandu, wadam, atau apalah kalian menyebutnya.
Aku tak pernah malu pada profesi bapakku meski hampir tiap detik hinaan dan celaan menerpa kupingku. Sudah biasa dan bapak cuma bilang, ”Sabar ya, Fer. Mereka cuma bisa bilang seperti itu, tapi mereka tak pernah bisa merasakan apa yang bapak rasa. Besok kalo kamu gede juga tahu gimana rasanya hidup dalam masyarakat sakit seperti ini”. Saat itu aku tak mengerti apa maksud dari deretan perkataan itu. Tak ada, kecuali semangat bapak untuk menjadikanku selalu lebih baik dari mereka.
Ferdi, aku suka nama yang diberikan bapak kepadaku itu. Tapi aku tak suka pada perempuan yang telah melahirkanku. Kenapa ia membuangku? Benarkah aku bayi hasil hubungan gelap?
Malam itu bapak sendirian. Degup jantungnya berpadu dengan rintihan air hujan yang berebut jatuh. Petir menyambar. Lalu terdengarlah tangisan pertamaku. Aku takut petir, sampai sekarang. Naluri keibuan bapakku muncul. Ia mengambil tubuh rentanku dari balik belukar, belukar yang tak akan pernah dipangkas sampai nanti agar aku selalu ingat bahwa aku berasal dari sana, bukan dari rahim perempuan! Bapak tak tahu harus memanggilku apa. Lantas, ia pun mencomot nama pacar pertamanya. Ferdi. Jadilah itu namaku. Ah, Bapak, kini kau tak lagi seperti dulu. Ketuaan mulai merenggutmu, belukar di kepalamu mulai menjamur, dan atribut kewanitaan itu pun telah kau tanggalkan. Tapi, maaf, aku tidak pernah bisa menjadi seperti yang Bapak minta. Aku memang tidak feminim seperti Bapak, tapi mengapa aku tidak pernah bisa mencintai perempuan? Bapak sering menangis mendengar itu, “ Fer, bapak yang salah. Selama ini bapak selalu mengajarimu dengan didikan yang tidak benar. Cintailah perempuan. Jangan seperti bapak. Bapak seorang pendosa, Fer!”
“Bapak bukanlah pendosa. Perempuan yang telah membuang saya ke belukar itulah si pendosa. Andai ia masih hidup, saya pun tak sudi disuruh mengakuinya sebagai ibu. Ibu saya adalah Bapak. Kalo saya tidak bisa mencintai perempuan itu bukanlah salah Bapak. Saya telah memilih untuk menjadi seperti ini. Saya harap Bapak berhenti menangis dan menyalahkan diri sendiri”
“Fer, Bapak tak tahu harus bersedih atau bahagia. Kau memang benar–benar telah dewasa. Kapan kau berangkat?”
“Lusa. Bapak tetap yakin tak mau ikut dengan saya?”
Bapak menggeleng. “Siapa nanti yang bakal mengurus Bapak? Bapak akan sendirian di kampung ini!”
“Bapak mencintai tempat ini, Fer! Sampai kapan pun Bapak akan tetap di sini. Menanti dirimu beserta calon istri, manantu bapak, Fer!”
**
“ Fer, lunch bareng yuk!”
Suara dari seberang itu merengek.
“Sorry, aku sibuk, Far! Next time aja ya!”
“Kenapa sich akhir-akhir ini kamu seolah menghindar?”
Aku terdiam. “Kenapa? Kamu menyesal setelah apa yang terjadi malam itu? C’mon, don’t be childish, man!”
“Sorry, Far. Aku benar-benar sibuk. Nanti kutelpon. Bye”
Sialan. Wanita itu datang lagi. Aku takut benar-benar jatuh cinta kepadanya. Aku tidak boleh mencintainya karena dia seorang wanita.

to : Suicide61@hotnail.com
from : S0nykoe@yahoo.com
Dear, beauty…
Beauty, maaf kalo sikapku selama ini membuatmu ragu dalam kebimbangan. Kau boleh bilang aku munafik dan pengkhianat. Tapi aku belum bisa mempercayaimu sepenuhnya. Itulah mengapa aku selalu mengulur waktu untuk mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya kepadamu. Aku takut membuat kesalahan lagi seperti dulu. Apalagi di dunia kita ini, kesetiaan telah hanya menjadi jargon, dan aku tak mau itu terjadi pada kita, Beauty-ku.
Sekarang semua terserah kamu, Beauty. Pilihan ada di tanganmu. I miss u.
Love,
Beast.

Reply:
Beast, aku teramat menggilaimu. Aku ingin tiap saat mendengar suaramu. Maaf, bila aku telah terlalu banyak menuntutmu. Tapi percayalah aku hanya benar-benar sayang padamu. Jangan biarkan aku sendiri dalam keraguan menantimu, Beast.
SMS aku kalo mo on-line ya!
See ya….
Beauty.
***
“Cinta. aku lagi kenal cowok, namanya Ferdi. Sekantor sama kita, cuma beda lantai”
“Kenapa? Kamu naksir?”
“Idih, bawaannya jealous mulu. Dengerin donk!”
“Awalnya sich gitu, ntar lama-lama juga cinta, awas ya!!”
“Cinta, aku ma Ferdi dah pernah bobo bareng lho!”
“Kumat dah biseksnya. Kamu ngebayangin aku ga sich pas ML ma dia?”
“Ternyata enak yang asli dech…..Ha..ha…..”
“Tuch kan….”
“Kita nglakuinnya by accident. Aku sich yang iseng, dia sekong ngga sich? Soalnya selama ini dia dingin-dingin aja ma perempuan. Eh, ngga tahunya buas juga di ranjang…..”
“So?”
“Tapi kayaknya dia nyesel dech, coz setelah itu dia selalu ngindar dariku. Ngga’ tahu kenapa, takut dosa atau dia malah jatuh cinta ma gue? Ha..ha..”
“Fara, kamu tega ya! Kok bisa sich kamu nglakuin gituan ma orang tanpa cinta. Jangan-jangan selama ini kamu juga ngga pernah cinta ma aku!”
“Tergantung”
“Kok?”
“Dah ya…mpe ketemu besok di kantor. Malam, sweety!”
“…….”
Tut.
**
LCD hp-ku menyala. Suara ringtone-nya membangunkan tidurku. Mau kuangkat. Ah, ternyata cuma miscall. One message received.
Beauty, dah bobo ya? Masih inget janji kita? Aku tunggu sekarang ya?
Sender
My-beast.
0817445249

aku ngantuk nih! Biar melek telpon dulu donk..! pingin banget denger suara kamu. Bilang dong kalo Beast cinta ma Beauty! Pls…..
sender
beauty
08156505916

nick beauty apa? Iya dech, aku telpon sekarang.
Sender
My-beast
0817445249

LCD hp-ku kembali menyala. 0341 56473. Nomor wartel. Dengan semangat kuangkat.
“Beast, is that you?”
“Beauty, manja amat sich!”
“Biarin. Beast, bilang dunk kalau Beast cinta ma Beauty”
“Nick Beauty apa ntar?”
“Bilang dulu!”
“Ehm…..I LUV YOU”
“Kok gitu sich. Mesra dikit dunk!”
“I LUV YOU”
“Ah, Beast! jayus dech!”
“Beauty, sayang. Beast emang kayak gini. Beast tetaplah beast yang ngga pernah bisa jadi pujangga. Beauty ngerti khan?”
“Maafin Beauty ya, Beast”
“Ya, udah. Ngga papa. Nick kamu ntar apa?”
“Bicara_cinta. Keren ngga?”
“Cepetan ya. Aku kangen ma kamu. See yaa.”
***
“Fer, aku sayang kamu. Cinta, Fer”
“Far, aku ngga bisa. Dan aku yakin kamu pun tak bisa. Aku tahu kayak apa kamu sebenarnya, Far. Kamu sama kayak aku khan?”
“Maksudmu?”
“Sudahlah jangan pura-pura”
“Kayaknya kita perlu bicara panjang dech, Fer. Tapi ngga di sini”
“Kapan pun kamu mau”
“ Kafe Sagara. Jam 9 malem. Ngga pake telat ya!”
“Ok. Tapi dihabisin dulu makan siangnya. Sayang, dah bayar!”
“Ok. Met makan”
***
lost boy > hai, lama ya…..
bicara_cinta > is that u beast?
Lost boy > apa kabar, Beauty?
Bicara_cinta > aku baik2 saja. U miss me?
Lost boy > yakin nich malam temanya cinta?
Bicara_cinta > yup. Why?
Lost boy > Reza,bener2 sayang ma I?
Bicara_cinta >Sony juga khan? Beast, serius khan ma Beauty?
Lost boy > Rez, sebenarnya aku pingin banget bilang sayang ma kamu.
Bicara_cinta > ?
Lost boy >Rez, mulanya aku tak pernah berpikir kamu bakal menganggap ini serius. Aku cuma main2. tapi dari hari ke hari aku malah semakin serius menanti miscal, sms, imel,dan telpon darimu. Dan tiba2 sekarang aku pingin bersama kamu. Rez, boleh ga aku nyium kamu?
Bicara_cinta > Aku juga, Beast. Tapi gmn? Aku belum pernah ciuman. Ajarin aku ya?
Lost boy > Rez, pejamin mata kamu ya.
Bicara_cinta > udah. Terus?
Lost boy > biarkan bibirmu terbuka dan siap menerima hangat bibirku. Aku….
Bicara_cinta > seandainya kita bisa bertemu, Beast. Aku benar2 sayang kamu.
Lost boy > aku juga, my beauty.
Bicara_cinta > beast,aku ga bisa nafas
Lost boy > sory. Aku meluknya terlalu erat ya….
Bicara_cinta > beast…
Lost boy > rez….
Bicara_cinta > beast…
Lost boy > rez…..
**
“Mari kita melakukannya”
“Melakukan apa?”
“Mencoba membuat rumah tangga”
“Jangan main-main”
“Siapa yang main-main?”
“Mana mungkin?”
“Apa yang ngga mungkin?”
“ Mmm…, ki…ta…Kita berdua? Menikah?”
“Ya. Kawin, punya anak. Kamu menjadi Bapak dan aku Ibu. Pembagian yang cukup adil kan?”
“Tapi…”
“Kamu homo dan aku lesbian?”
“Benar. Meski kita pernah bercinta, bukan berarti kita bisa saling benar-benar cinta, Far!”
“Reza..Reza..kamu ini aneh. Asal kamu tahu, kejadian malam itu aku cuma mo ngetest, aku masih bisa ngga sama lelaki? Ternyata aku bisa dan fine-fine saja. Malah, sekarang aku mungkin telah jatuh cinta sama kamu, Rez”
“Bagaimana kalo tiba-tiba aku pingin ketemu bf-ku dan kamu juga ingin menyentuh femme kamu?”
“Ya udah. Samperin aja. Toh itu dah jadi adat kita. So what’ s wrong? Aku tahu kamu gitu dan sebaliknya, kamu juga ngga ada hak untuk marah kalo tiba-tiba aku seranjang sama femme-ku?”
“Anak-anak kita?”
“Jangan sampai mereka tahu”
“Bagaimana?”
“Itu urusan nanti. Bagaimana, kita buat agreement?”
“Ok.”
***
From : Suicide61@hotmail.com
To : S0nykoe@yahoo.com
Beast, rupanya suatu kesalahan mencintaimu. Maaf, biar aku yang mengakhiri ini semua. Aku tak menyangka cintamu padaku sedangkal itu, hanya sebatas kulit fisik. Aku sudah bilang aku tak seindah putri impianmu. Aku pun tak pernah berharap kita bertemu dan membayangkanmu segagah pengeran berkuda putih menjemputku. Sebab itu memang bukan kau, Beast!
Aku menikmati saat-saat kita saling telpon, sms, miscall, dan chat. Semestinya aku bangun dari mimpi ini dari awal, mengapa aku begitu percaya pada percintaan maya seperti ini dan membiarkan dirimu meracuni hari-hariku.? Aku menyesal,mungkin.
Beast, jujur aku masih sayang padamu. Tapi lagi-lagi aku harus terima, bahwa kau memang tak pernah mencintaiku seperti yang kuharap. Biarlah, beauty and the beast menjadi sejarah seperti Romeo dan Juliet, Laila dan Majnun, kamu mau kan? Terima kasih telah mengenalku. Tak akan pernah kulupa ciuman pertamaku denganmu.
Sampai jumpa, kekasihku.
Reza.
Cinta, kayaknya ni sms terakhir dech. Benar katamu, aku ketagihan. Penis ternyata lebih mengasyikkan daripada sesama vagina. Dah ya, kapan-kapan nyambung lagi. Jangan lupa datang di kawinanku ma Ferdi. Bye.
Sender
Fara
08157729484
***
“Bapak aku pulang. Ini menantu bapak”

O.N.S.

One Night Stand
I hate myself > hi….
Smgbrt_26 > asl pls
I hate myself > Redy 20m Smg
U?
Smgbrt_26 > Leo 26m Smg
Stat?
I hate myself > is it important?
Smgbrt_26 > OK
I’m sleepy. Gtg 1st ya…..
Ada hp ga?
I hate myself > 08156581016
Smgbrt_26 > 08122588900
Bye…
I hate myself > bye…

“Halo, assalamualaikum”
“Hai, bisa ngomong ma Redy?”
“Ya. Ini aku yang ngomong. Siapa ni??”
“Lupa ya ma gue”
“Gue yang mana, Mas? Banyak yang ngaku-ngaku kenal sech..”
“Yang semalem!”
“Ehmmm….Leo?”
“Yup. Lagi ngapain, ramai amat?”
“Lagi di kampus, kuliah bo! Lo lagi ngapain? Bukannya sekarang jam kerja?”
“Kapan ketemu?”
“Lo maunye kapan? Gue ngikut dech..”
“Lho kok pasrah gitu?”
“Ya..ngormatin yang lebih senior aja…”
“Kalo sekarang gimana?”
“Aduh, masnya ini lho, tadi dibilangin aku ‘kan lagi menuntut ilmu buat masa depan!”
“Trus kapan?”
“Ntar dech gw sms, dosennya dateng neh!”
“Ya udah. ‘Met kuliah ya! Belajar yang bener! Bye”
“Thanks. Bye juga”
hi…katanya mo sms mana?
sender
Leo
081225889000
Besok jam 7 malem gw tunggu deket parkiran kampus.
sender
Redy
08156581016
Ok, honey!
sender
Leo
081225889000
Re, tempat dinner yang romantis dimana? Si Leo ngajak jalan neh?
sender
Redy
08156581016
Emang u dah ketemu sama dia? Keren ga? Tajir?
sender
Rea
08157729484
Abis! Pokoknya dia yang slama ‘ni gw cari! Tahu ‘ga dia kerjanya apa? Tak kasih clue, tongkrongan dia escudo, bo!
sender
Redy
08156581016
Gila! Jadi kenyataan juga mimpi lo!! Ehm…apa ya? Nyerah dech!
sender
Rea
08157729484
Manajer Bank, man!! Buruan, ke mana?
sender
Redy
08156581016
Kafe Sagara, Graha Santika
sender
Rea
08157729484
Gilingan lo, ya!! Mahal tuch! Ga enak dunk ma dia!!
sender
Redy
08156581016
Ye….katenya nyari yang bisa dijadiin sapi perah!! Ya udah, Vina House aja. Pergi sono, pulsa mepet!! Ntar di kost crita ya!!!
sender
Rea
08157729484
**
“Dah siap lom?”
“Kamu dah di mana? Aku nyisir dulu!”
“Aku dah nunggu di gang deket kostmu”
“Ya ….cepet amat! Bentar lagi aku turun! Sabar ya!!”
Redy melihat kembali bayangannya di kaca. Tersenyum sebentar lalu bergegas keluar menuju mulut gang.
“Lama amat sech!”
“Sorry. Situ sich yang datengnya kesorean!”
“Mo makan di mana?”
“Terserah yang ngajak dunk!”
“Kemana?”
“Terserah kamu!”
“Kamu dunk…Aku ngikut wis!”
“Ehmmm….nasi goreng deket Raden Saleh aja yuk!”
“Ayuk. Gitu dunk baru pacar gue..!”
“Ih..GR…sejak kapan?”
“Udah makan yuk…..”

“Re, aku ga akan pernah maafin dia!”
“Lho kok gitu ngomongnya? Bukannya kemarin kamu yang bilang kalo ‘ga bakal menyesali peristiwa malam itu?”
“Iya. Tapi…”
“Kenapa?”
“Waktu di mobil setelah makan, aku ..” “Kamu ngapain? Jangan bilang kalo kamu..” “Awalnya dia bilang cinta ‘ma aku. Tapi aku jawab jangan ngegombal dech, trus dia bilang boleh ga aku nyium kamu. Aku bingung mesti gimana saat itu. Aku benar-benar panik sampe hp-ku jatuh trus keringetan dech…” “Trus kamu mau?” “Aku ‘ga jawab apa-apa. Aku cuma mejamin mata waktu dia mulai nyium aku dan…..” “Dan apa..?” “Dia …..melakukan itu kepadaku…..” “Ngalakuin apa?” “You know it without I say it!” “Gila…..” “Tapi…..” “Sekarang dia ninggalin kamu dan nggebet mantanmu?” “He..eh..!” “Makanya…….”

Walaupun

Walaupun…

“Jangan pernah mencintaiku, Laela!”
“Aku terlanjur mencintaimu, Krisna.”
Krisna menarik nafas panjang. “Benar, Krisna. Aku mencintaimu,” tegas Laela.
“Tapi Laela..”
“Tak akan ada nafi dalam kisah ini, Krisna”
“Meski kamu tahu aku..”
“Apalagi yang belum kuketahui darimu? Bahwa dirimu impotent? Bahwa kamu pernah menjadi gay?”
Krisna mengangguk membenarkan semua itu. “Aku tahu konsekuensi apa yang harus kutanggung ketika memutuskan untuk memilih mencintai dirimu. Bahkan, mungkin aku rela bila kamu tak hanya mantan pria gay yang impotent. Aku rela kamu siksa dan sakiti bila kamu juga seorang sadomasitik. Aku pun ikhlas bila kamu tak hanya menduakanku dengan wanita tapi juga pria sebagaimana aku tak pernah merasa jijik andaipun kamu juga pengidap bestiality.”
“Kamu gila, Laela”
“Aku tidak gila, Krisna. Aku hanya mencintaimu dengan logika dan hati.”
“Mengapa kamu seolah yakin dengan semua itu?”
“Karena aku memiliki sebuah setia.”
“Meski mungkin saja aku adalah manusia terburuk yang pernah kamu temui?”
“Karena aku setia kurasa sudah cukup untuk menjadi jawab atas semua pertanyaan, Krisna”
“Bagaimana bisa?”
“Setiaku berasal dari hati bukan dari orang lain, Krisna. Aku tak akan pernah peduli dengan apa yang akan terjadi pada diriku lagi akibat semua polahmu. Aku hanya setia karena cinta ini berasal dari diri terdalamku. Energi itulah yang akan selalu membuatku tegar bersamamu.”
“Apalagi yang harus kuperbuat agar kamu membenciku, Laela?”
“Tak ada.Terimalah aku menjadi istrimu, Krisna!”
**
Laela menatap nisan itu. Matanya sembab. Tangis itu masih saja terus berkepanjangan semenjak 10 tahun silam ketika Krisna benar-benar telah meninggalkannya. Laela menaburi kuburan itu dengan kembang sambil sesekali membenarkan kerudungnya.
“Krisna, aku masih seperti kemarin. Laela yang dulu setia kini pun tetap setia. Tak akan ada lelaki seburuk dirimu, Krisna. Tapi keburukan itulah yang membuatmu senantiasa membekas dalam hati, Krisna,” perempuan itu lagi-lagi tak kuasa untuk tidak menguarai air matanya.
”Krisna, aku tahu kamu mendengarku. Aku tak pernah bisa melupakan saat-saat bersamamu. Bahkan aku selalu membawa sebaris kata yang kamu tulis untukku. Hari ini aku yakin kamu pasti ingin lagi mendengarnya. Kubacakan ya Krisna…..” Perempuan itu pun mulai mengeja tiap perkataan dalam kertas itu secara tersendat berpacu dengan airmata yang terus saja diurainya.

Mengatakan kasih:
Padamu
Tak ingin menjadi api yang membakar atau air yang mengguyur.
Hanya ingin menjadi dirimu.
Dalam seribu wujud. Rasa. Tekstur. Gesture. Melekat:
Padamu. Padu.
Hanya itu.

“Krisna, kamu masih bahagia mendengarnya, bukan?” Laela semakin deras air matanya, ”Tapi mengapa aku tak bisa sebahagia dirimu, Krisna?” digunakannya salah satu ujung kerudungnya untuk mengusap air matanya. “Aku ingin bersamamu. Di sini aku sendirian. Benar-benar sendiri. Mereka semua mencibirku bodoh karena telah mencintai manusia semacam dirimu. Bahkan, mereka juga bilang bahwa aku perempuan kerdil yang bisa dijajah oleh lelaki bejat macam dirimu. Aku tak peduli, Krisna. Mereka hanya bisa melihat kemudian bertingkah sok tahu tentang apa yang terbaik. Mereka memberi nasihat, saran, dan tak jarang mereka juga menyodorkan lelaki lain untuk menggantikanmu. Aku tidak bisa, Krisna. Bahkan aku tak ingin menanggalkan baju yang kukenakan saat pertama kali engkau mempertanyakan perasaanku terhadapmu, saat engkau meragukan kesungguhanku. Ya, Krisna. Baju itu masih selalu kusimpan dengan terbaik. Kucuci ke laundry, kuberi minyak baju terwangi, kugantung paling tinggi, dan kupisahkan dari baju-baju yang lain. Kemudian sebulan sekali setiap tanggal 9 aku akan mengenakannya untukmu. Kamu lihat ‘kan aku tak pernah berubah? Masih seperti dulu. Dan hari ini pun kamu melihatku seperti waktu itu, dengan baju yang sama,” Laela menyiramkan air kembang ke atas pusara itu dengan sedikit senyum terulas. “Ah, Krisna aku hampir lupa. Besok Krisna menikah. Dia kini telah dewasa tapi memang tak pernah seganteng kamu. Dia juga baik terhadapku. Bahkan dialah yang selalu mengingatkanku untuk selalu menjengukmu di sini meski orang-orang telah menganggapku sebagai perempuan gila. Krisna, kamu memang tak salah memilihnya sebagai putra. Kamu memang selalu benar, Krisna!”
“Ma, pulang yuk. Sudah sore,” suara Krisna mengajak ibunya pulang.
“Kau dengar itu, Krisna? Dia begitu perhatian terhadapku sama persis kayak kamu. Meski dirimu selalu tak ada saat kuingin, kamu selalu bisa hadir dalam setiap jengahku. Aku merindukanmu, Krisna. Kapan kamu menjemputku?”
“Ma,pulang yuk!” kali ini Krisna mendekati ibunya itu dan membantunya berdiri.
“Sebentar, Krisna. Mama masih ingin bicara dengan papa.,” Laela memberi alasan agar tetap bisa sedikit lama berada di tempat itu. Krisna hanya terdiam. Ia tak berani membantah ibu angkatnya itu. Ia tahu ibunya sangat dalam mencintai ayahnya. Terbukti, hampir tiap hari rutinitas semacam ini selalu terjadi. Kebetulan saja,hari ini dirinya libur sehingga ia pun dapat menemani ibunya. Sebenarnya,Krisna tidaklah terlalu suka dengan adat ibunya itu. Matanya selalu basah saat menyaksikan ibunya membaca sederet kata yang dulu diberikan ayahnya. Ia juga selalu berpikir mengapa ada wanita yang begitu setia terhadap lelaki seperti ayahnya yang ia tahu bagaimana tabiat sebenarnya.
“Krisna, suamiku. Aku harus pulang tapi percayalah besok pasti aku akan kembali. Kembali dengan cerita baru namun tetap dengan sajak dan kesetiaan yang sama. Aku mencintaimu, Krisna.” Laela mencium nisan itu sekali lagi kemudian beranjak pergi. “Mari kita pulang, Krisna!” ajaknya.

Rahwana

Rahwana

“Ia adalah wanita terbodoh yang pernah kutahu. Bukan hanya dia. Sekarang ini, begitu banyak kulihat wanita bodoh dalam setiap jengkal pandang mata. Bila Drupadi sedemikian keras memohon kepada Wisnu yang menitis pada wujud Krisna agar diselamatkan dari ketelanjangan di depan umum maka kini wanita tanpa ada paksaan, bahkan dengan sukarela melepas kain penutup tubuhnya di mana-mana. Wanita-wanita itu seolah begitu bangga dengan melepas baju penutup auratnya. Wanita semacam itukah yang disebut figur ideal wanita zaman sekarang, wanita-wanita korban voyeurisme lelaki?”
******************************************************************
Perkenalkan, nama aku Pere. Perempuan, lengkapnya. Entah mengapa ibu memberi nama yang berarti kanvas di mana lelaki seyogyanya melukis, sebuah lahan di mana Adam menebarkan benih, sebuah guci yang tak boleh retak dan dituntut untuk selalu utuh, demikianlah sejumlah orang memaknai namaku. Perempuan. Sebuah diksi yang kemudian berameliorasi menjadi wanita. Aku tak pernah mempersoalkannya sebab aku bukan lelaki atau pun perempuan yang terjebak dalam jasad kelelakian. Aku adalah seorang perempuan yang bernama Perempuan...
Aku mencintai Rahwana. Jangan kamu bayangkan bahwa lelaki yang kucintai itu mempunyai sepuluh muka, bertaring, dan berwujud raksasa. Berbeda denganku, nama Rahwana sebenarnya tidak cocok untuk dia. Salah besar..
Tubuhnya kurus bahkan memeluknya pun aku serasa tak memeluk apa pun. Matanya ngambang, ngomongnya diseret-seret tak beraturan, kulitnya menghitam, dan wajahnya dipenuhi jerawat. Ah, mungkin aku salah bila bilang nama Rahwana tak cocok baginya, mengingat secara fisik Rahwanaku sama buruknya dengan Rahwana dalam dongeng itu. Sungguh, tak kudapati kriteria ideal seorang lelaki pada sosoknya.
Rahwana senantiasa memanggilku bangsat, begok, bahkan gila. Ia pun tak segan untuk terus memakiku seolah makian adalah sekumpulan kosakata baru yang melegal baginya.
Benar, tak ada panggilan mesra, apalagi kalimat cinta, yang pernah dilontarkannya untukku. Namun, aku tahu –atau membutakan diri?- begitulah caranya mencintaiku.
Rahwana juga sering nganeh-nganehi. Pernah suatu ketika ia bilang tengah terpikat oleh sosok wanita lain. Rahwanaku benar-benar telah terpaut hati padanya. Lantas, Rahwanaku pun menceritakan semua isi hatinya padaku tanpa berdosa, tanpa beban dan pikiran bahwa aku akan sakit hati, atau pun cemburu sama sekali. Sayang, sebagai wanita tentu saja aku tak rela kekasihku memuja wanita lain tapi aku selalu tahu bagaimana harus bersikap sebagai Perempuan.
“Rahwana mencintainya?” aku bertanya tetap sebagai Perempuan tatkala ia mulai bercerita tentang hatinya yang tengah berbunga. Rahwana tidak menjawab. Ia hanya terdiam sambil lekat memandang ke arahku. “Kenapa Rahwana diam? Kalau Rahwana suka, menikahlah dengannya!” Aku berucap itu dengan kalimat yang kurasa lebih terdengar mantab daripada kemarin-kemarin. Entah kenapa bisa demikian. Mungkin karena aku adalah Perempuan yang telah mengerti bagaimana Rahwanaku. Aku lahir untuk sebuah pengabdian pada Rahwana, mungkin..
“Pere tidak sakit hati?”
“Jelas saya sakit hati tetapi sejak kapan kita tertarik berbicara soal apa yang dikata oleh hati, Rahwana?”
Rahwana terdiam lagi, seolah sedang mengingat-ingat satu hal. “Kapan terakhir kali kita menyinggung soal hati masing-masing, Pere?”
“Kita belum pernah memulainya sama sekali ketika Rahwana sudah bicara terakhir. Ah, sejatinya saya tidak tertarik berbicara soal kata hati. Kata hati hanya akan membuat saya terbelenggu bila tidak mendengarkannya. Kata hati pula yang akan menjadikan cinta saya pudar pada Rahwana yang saya tahu telah berpindah hatinya pada wanita lain..”
“Pere, mari kita bicara soal hati?!”
“Jatuh cinta membuatku kehilangan Rahwanaku rupanya. Siapa yang sedang bicara padaku sekarang? Rahwanaku tidak seperti ini. Aku yakin benar!”
“Apa maksudmu, Pere?”
“Rahwanaku yang saya tahu adalah Rahwana yang tidak suka membicarakan sesuatu yang sentimentil apalagi menyoal tentang kata hati. Rahwanaku adalah lelaki yang memanggilku bangsat sebagai penanda cintanya. Aku telah bahagia dengan semua itu dan aku tak ingin melihat Rahwana yang lain.”
“Kamu jangan berdusta pada hatimu, Pere! Deskripsi kebahagiaan bukanlah tersakiti dan implementasi rasa cinta bukanlah dengan menyakiti!”
“Aku tidak pernah merasa tersakiti. Bercinta denganmu telah membuatku memandang tersakiti dan menyakiti adalah dua hal yang satu sebagaimana kumemandang suara bukanlah suara semata. Suara adalah pergantian bunyi dan keheningan yang cepat dan, menurutku, demikianlah segala sesuatu sewaktu aku bersamamu. Kesadaran memang memiliki sebuah mekanisme yang aneh. Kita adalah spesies yang memiliki kesadaran tertentu yang disebut perhatian yang sadar, dengannya kita mempunyai kemampuan untuk meneliti pernik-pernik kehidupan dengan cermat. Kita dapat membatasi pandangan kita pada medan sentral penglihatan dalam mata. Kita mempunyai penglihatan sentral dan periferal. Penglihatan sentral kita gunakan untuk membaca dan melakukan semua kegiatan dalam jarak dekat, mirip dengan cara kerja lampu sorot. Sedangkan pandangan periferal lebih mirip dengan lampu minyak”
“Aku tak habis pikir. Mengapa hatimu begitu besar, Perempuan?”
“Sudah saya bilang, saya tidak tertarik bicara soal hati. Rahwana.., aku hanya ingin tahu bagaimanakah wanita yang tengah engkau gandrungi itu? Apakah dia sesetia Shinta? Sehebat Drupadi? Atau secantik Jenifer Lopez??”
“Ia melebihi mereka semua sebab ia tidak bodoh seperti wanita-wanita itu..”
“Kamu bilang mereka bodoh? Bukankah Shinta, Drupadi, Jenifer Lopez adalah sosok ideal dari wanita?”
“Aku bilang mereka bodoh karena mereka adalah wanita-wanita yang tidak berpinsip! Wanita yang bisa direndahkan oleh lelaki..”
“Kurang apakah seorang Shinta?”
“Shinta hanyalah sosok wanita yang tidak pernah menggunakan rasionya terhadap Rama. Untungnya, Batara Surya menyelamatkan dirinya dari panas api sewaktu suaminya yang tak tahu diri itu memintanya menyeberangi lingkaran api untuk membuktikan bahwa ia belum tersentuh oleh Rahwana. Mengapa Shinta melakukan itu? Demi cinta, mungkin. Tapi cinta macam apa jika didasarkan pada sebuah syarat bertajuk keperawanan? Semestinya Shinta tak perlu melakukan semua itu bila ia menyadari bahwa Rama tengah merendahkan martabatnya sebagai wanita terhormat dengan meragukan kesetiaan dan kejujurannya. Shinta hanyalah wanita yang menikmati keangkuhan seorang lelaki.”
“Lantas bagaimana dengan Drupadi? Jangan kau bilang dia adalah seorang pelacur karena merelakan dirinya diperistri oleh lima lelaki sekaligus, Rahwana!”
“Drupadi hanyalah wanita bodoh yang rela menerima kembali suami-suaminya yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa dalam darah mereka mengalir darah ksatria Pandawa. Mana ada suami yang menjadikan istri sebagai taruhan dalam meja judi kemudian membiarkannya ditelanjangi di depan mata tanpa berbuat apa-apa? Beruntunglah, Drupadi seorang pemuja Wisnu yang taat hingga ia selamat dari dipermalukan di hadapan puluhan pasang mata lelaki dalam arena konyol itu. Suami yang menyamakan istrinya dengan barang taruhan apakah masih pantas disebut suami? Drupadi yang malang, ia silau oleh fatamorgana yang berlabel pengabdian..”
“Jenifer Lopez?”
“Ia adalah wanita terbodoh yang pernah kutahu. Bukan hanya dia. Sekarang ini, begitu banyak kulihat wanita bodoh dalam setiap jengkal pandang mata. Bila Drupadi sedemikian keras memohon pada Wisnu yang menitis pada wujud Krisna agar diselamatkan dari ketelanjangan di depan umum maka kini wanita tanpa ada paksaan, bahkan dengan sukarela melepas kain penutup tubuhnya di mana-mana. Wanita-wanita itu seolah begitu bangga dengan melepas baju penutup auratnya. Wanita semacam itukah yang disebut figur ideal wanita zaman sekarang, wanita-wanita korban voyeurisme lelaki?”
Aku terbengong menyaksikan Rahwanaku. Ternyata begitu banyak puing dirinya yang belum kusentuh. Inikah Rahwanaku yang seutuhnya?
“Rahwana, aku senang engkau memiliki perspektif yang sangat berbeda dengan lelaki kebanyakan. Tapi sebagai wanita, aku hanya ingin tahu bagaimanakah pujaan hati lelakiku?”
“Wanita itu adalah wanita. Ia tahu bagaimana bertingkah sebagai wanita. Ia juga tahu bagaimana harus bersikap pada Rahwana”
“Siapakah dia, Rahwana?” aku penasaran. Ingin tahu siapakah wanita itu.
Rahwana menatap dalam ke arahku. Tatapan itulah yang selama ini mempesonaku. Tatapan yang benar-benar tak kuinginkan namun selalu terbayang hangatnya dalam setiap desirku. Rahwana masih menatapku. “Sekarang aku sedang berkaca pada matanya, Perempuan!”
Aku membalas tatapan Rahwana. Kudapati bayanganku terpantulkan di sana. Ya, aku mencintaimu sebab engkaulah yang mampu membuatku merasa benar-benar menjadi perempuan, Rahwana…

Saya dan Bella

Saya dan Bella

Di sini saya tidak akan berkisah tentang Puspa ataupun Leony yang keturunan Tionghoa*. Saya, di sini, hanya akan bertutur tentang seorang Bella. B.E.L.L.A. Bella. Titik. Tanpa -tung, -kang, -lang, -jar, -atau pun -lai. Hanya Bella. Tanpa nama lengkap atau pun nama belakang. Cukup Bella.
Dia seorang wanita. Bukan seperti wanita biasa. Wanita panggilan, demikian mereka menyebutnya. Benar, Bella seorang pelacur. Dia menjual tubuhnya. Memamerkan buah dada dan mengumbar undangan bagi lelaki yang ingin mencicipi kehangatan. Bella benar-benar seorang wanita pelacur. Bahkan, ia mungkin terlahirkan memang untuk menjadi perempuan tuna susila. Jiwanya adalah jiwa seorang pelacur.
“Tidak cuma aku. Semua orang adalah pelacur,” kilahnya suatu saat.
Bella sedang menyusun apologi. Dia tak rela justifikasi negatif itu hanya dilekatkan pada diri dan kawan-kawan seprofesinya. “Kamu adalah juga pelacur. Bukan pelacur yang menjual tubuh dan mengobral vagina. Kamu adalah pelacur waktu, pelacur ilmu, bahkan seringkali kamu juga melacurkan kehormatan,” katanya waktu itu. “Kamu punya lahan sendiri untuk kamu lacurkan dan, sebagaimana kamu tahu, aku adalah pelacur tubuh,” tambahnya.
Tunggu. Apa benar Bella wanita?
Bella bukan wanita. Bella bukan wanita. Bella bukan wanita.
Bella banci. Bella wadam. Bella waria. Bella tak terdefinisikan kelaminnya.
Bella banci. Bella wadam. Bella waria. Bella tak terdefinisikan kelaminnya.
Bella memang bukan perempuan. Keperempuannya sekarang hanyalah plastik. Tidak orisinal. Benar, dia wanita palsu.
“Saya memang palsu tapi hati saya wanita tanpa ragu”. Demikian Bella selalu berkata kepada saya.
Saya mengenal Bella seperti saya kenal dengan setiap lekuk tubuh ini. Bella selalu berkisah tentang dirinya kepada saya. Saya tahu bagaimana rasanya menjadi Bella. Bella senang akan hal itu.
Saya kenal Bella 21 tahun silam saat pertama kali kuliah. Dia sosok yang menarik bagi saya. Entah bagaimana semua dimulai sehingga sekarang kami begitu dekat. Bahkan boleh dibilang, Bella dan saya adalah satu. Bermula dari kedekatan itulah saya tahu bagaimana seorang Bella sebenarnya. Malahan, saya tahu kepada siapa dan bagaimana Bella pertama kali jatuh cinta.
Saat itu umur Bella 15 tahun. Benar, Bella jatuh cinta. kepada seorang lelaki. Bella bingung dan tak ingin menjadi seperti itu. Aneh, pikir saya. Tapi, Bella menikmati saat-saat itu. Tak ada yang ingin dirubahnya sedikitpun.
“Aku sangat mencintainya meski kutahu dia sama sekali tak menaruh rasa terhadapku. Aku nikmati semuanya. Aku selalu menuruti arus tanpa tahu dan peduli ke mana ia akan menghanyutkanku. Tapi, lagi-lagi aku menikmati..,” demikian urainya kepadaku.
Sayang, sebagaimana lazimnya sebuah kasih cinta aneh dan ganjil semacam itu, sudah dapat diprediksi bagaimana akhir ceritanya.
“Kami berpisah. Dalam kebisuan. Tanpa kata. Tanpa jalinan cerita. Hanya mata yang berkata. Mata yang tiba-tiba basah. Mata-mata yang berubah sayu seolah hendak mencegah dia agar tak menjauh. Mata yang tiba-tiba harus mejadi sok tegar ketika semuanya harus berakhir tanpa kata. Tapi, lagi-lagi aku menikmati..,” Bella tersenyum berkata demikian. Senyum yang sok tegar namun senyum yang paling manis. Hanya untukku. Saat itu.
Bella memang selalu menikmati segalanya. Tapi, kutahu, ia sama sekali tak menikmati menjadi lelaki. “Saya memotongkan penis saya ke dokter. Bukan sunat tapi benar-benar saya potongkan sampai pangkal. Kemudian, saya memesan untuk dibuatkan vagina dan menyuntikkan silikon ke dada saya. Saya pun menjadi wanita,” tegasnya.
Mau tahu apa yang Bella rasakan setelah bermetamorfosis menjadi wanita?
Dia bahagia, itu yang selalu di katakannya -saat itu. Dia mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Penampilan dan tubuh yang hampir sempurna. Puluhan pria mengejar-mengejar dan bermimpi untuk dapat tidur dengannya. Entah sudah berapa pria yang telah menemaninya, saya lupa kapan terakhir kali dia cerita tentang pria yang terakhir menidurinya. Saya benar-benar tak ingat.
Bella telah mejadi piala bergilir. Bella telah sah menjadi pelacur. Bella memang selalu menikmati segalanya -kecuali menjadi lelaki- sampai suatu hari melalui pembicaraan di telepon dia bercerita seperti biasanya.
“Saya capek dan lelah menjadi perempuan”
“Bukankah dulu kamu ingin?”
“Saya benci menjadi cantik”
“Dulu kamu mengejarnya, Bella”
“Mereka tak pernah menginginkan saya. Mereka tak pernah cinta. Mereka hanya ingin tidur dengan saya. Mereka hanya mempunyai nafsu”
“Lantas, apa yang kamu ingin Bella? Menjadi lelaki kembali? Tidak mungkin, Bodoh!,” saya meledeknya setengah bercanda.
“Saya ingin menjadi seperti kamu, Dira!”
Saya tertawa mendengar kalimat Bella barusan. “Apa tidak salah? Kamu ingin menjadi seperti aku? Jangan sentimentil seperti ini. Kamu hanya perlu istirahat. Istirahatlah..!”
“Tidak. Saya benar-banar ingin menjadi seperti kamu!”
“Menjadi perempuan yang pura-pura hidup melajang untuk menutupi bahwa dirinya lesbian? Seperti itu yang kamu mau?”
“Mungkin. Kamu perempuan dan kamu lesbian. Saya mungkin telah jatuh cinta sama kamu, Dira”
“Bella, saya memang lesbian tapi saya tidak pernah bercinta dengan wanita mantan lelaki!”. Saya mulai geram dengan ucapan-ucapan Bella yang tak karuan. “Bella, jangan hubungi saya lagi. Kamu gila!”
Klek. Telepon saya tutup. Selanjutnya, Bella benar-benar tidak menghubungi saya lagi. Saya sempat merasa bersalah karena telah tidak menghargai perasaannya. Sempat pula saya bermaksud menemuinya. Namun, niat itu saya urungkan sebab sebelum itu saya telah muak terlebih dahulu dengan isi pesan pendeknya yang masih saya terima seperti kemarin : dia mencintai saya. Kemudian, kami memang tidak dipertemukan lagi. Beberapa tahun setelah itu, saya pergi ke Amsterdam untuk melanjutkan studi dan Bella, entah, saya tidak tahu bagaimana keadaannya kemudian.

Sepuluh tahun kemudian, sekarang.
Saya kembali ke Indonesia. Masih seperti dulu. Dengan potongan rambut cepak dan kacamata silindris hanya saja saya merasa sedikit lebih gemuk. Oh ya, saya masih pula menempati rumah yang sama.
Hari ini saya bermaksud membersihkan kamar kerja setelah dua hari sebelumnya dapur dan ruang tamu saya sulap menjadi kinclong. Pembersihan saya mulai dari membereskan buku-buku yang masih ada di atas meja kemudian memindahkannya ke atas lemari. Saya lap kaca yang melapisi meja kerja kusam itu. Fiuhhh.., bersih! Kemudian, saya beranjak membuka laci bermaksud membersihkan dalamnya. Tak sengaja, mata saya tertuju pada satu amplop yang tampak seperti sebuah surat yang belum sempat terbaca. Perlahan saya raih amplop itu kemudian membuka dan mengeluarkan isinya.

Semarang 11 Juni 1994
To:
Dira
Surat ini dikirim untuk saya sepuluh tahun lalu. Kok bisa saya lupa untuk membacanya, batin saya.

Dear,Dira.
Langsung saja, cuma mau bilang bahwa saya tahu kamu tidak pernah mencintai aku sebagaimana aku tahu bagaimana aku sangat mencintai kamu.

Saya langsung tahu siapa penulis surat ini dari cara pemilihan kata-katanya. Segera saya ingin mengakhiri membaca surat itu tapi saya urungkan. Saya-masih saja- ingin tahu bagaimana keadaannya saat itu?

Aku tidak akan menulis banyak sebab aku memang tak pandai berkata-kata seperti kamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa tiba-tiba saya menjadi lelaki saat berada di dekatmu. Aku tahu kamu tidak pernah menginginkan lelaki tapi bukankah tampak jelas bahwa aku sosok perempuan?
Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkap ini. Aku pun tak bisa bilang bahwa aku mencintaimu sebagai lelaki -mantan- atau bagaimana?
Aku tidak tahu harus diberi nama apa rasa ini. Mungkin tak harus diberi nama. Ah, saya jadi bingung.
Tapi,Dira percayalah..

Saya tak lagi tertarik meneruskan membaca sebab saya tahu apa akhir dari surat itu. Saya -masih seperti kemarin- tetap muak kepada lelaki, meski, mantan lelaki. Saya bergegas menuju pintu utama setelah tiga kali saya dengar bel rumah berteriak. Saya buka pintu. Kemudian..
Saya terdiam.
Melihat siapa yang datang.


*FTv : Jangan Panggil Aku Cina! Dan Panggil Aku Puspa

Sekarang.Dulu.

Sekarang. Dulu…
Kira-kira, semenjak dua minggu lalu saya mempunyai kebiasaan memandang ke luar jendela ke arah taman yang kebetulan terlihat jelas dari kamar saya. Terkadang, kegiatan itu saya lakukan penuh sepanjang hari libur. Saya lupa akan makan, minum, jalan-jalan, atau membenahi rumah seperti yang pernah saya lakukan sebelumnya.
Pada hari-hari biasa, sebelum bekerja selalu saya sempatkan untuk melihat ke luar jendela. Bahkan tak jarang saya berdiri di bibir jendela itu dengan kondisi setengah telanjang atau bahkan bugil. Saya selalu menikmati saat angin menyetubuhi saya dan embun menjilati tiap celah pori-pori kulit saya. Saya benar-benar menikmati satu kebebasan yang teramat bebas di saat seperti itu. Kejujuran yang teramat jarang saya pamerkan dalam kehidupan sehari-hari benar-benar saya ekspos bulat-bulat dalam moment memandang ke luar jendela : bugil!
Taman itu seperti taman-taman yang lain. Berkarpet rumput hijau diselipi kembang warna-warni. Saya sendiri tak begitu tertarik untuk mengetahui namanya. Saya hanya menikmati warna dan semerbak wanginya. Saya hanya tahu dua nama bunga : mawar dan melati. Untuk nama-nama yang lain, saya seringkali salah mencocokkan nama dan bunganya. Itulah mengapa saya tidak tertarik untuk menghafal nama-nama kembang yang indah itu. Bagi saya menikmati saja sudah cukup.
Di satu pojok taman itu tumbuh satu pohon yang menurut saya adalah pohon yang terindang –saya pun tak tahu namanya. Daunnya benar-benar lebat dan acapkali berguguran –semua orang saya rasa tahu. Di salah satu dahannya, mata saya selalu tertuju. Dahan yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Dahan yang sedikit lurus tapi tidak juga bisa untuk dikatakan bengkok. Dahan di mana burung –lagi-lagi saya tak tahu namanya- itu biasa hinggap.
Burung yang selalu bernyanyi, menoleh ke kanan ke kiri, mematuki pohon tempatnya hinggap, menggoyang-goyang buntutnya, dan burung yang seringkali matanya bersitatap dengan mata saya. Pandangan kami senantiasa beradu. Tak ada makna yang tercipta tapi bukan berarti itu hal biasa. Hanya kosong dan damai. Dua kata itu yang bisa saya katakan untuk melukiskan bagaimana rasanya saat kami berpandangan. Beberapa saat kemudian, burung itu pun memalingkan pandangannya yang membuat saya seolah kembali tersadar setelah beberapa saat terhipnotis.
Di sebelah pohon terindang dan beberapa meter dari lampu taman itu terdapat tempat duduk bercat hijau. Tempat duduk itu lazim disebut bangku. Ya, karena ia mempunyai sandaran yang memanjang dan berdiri dengan empat buah kaki serta biasa diletakkan pada salah satu sudut taman.
Di bangku itulah saya selalu melihat lelaki itu. Lelaki yang selalu duduk di sana saat saya sedang memandang ke luar jendela. Bahkan, saya rasa, dia telah berada di sana saat saya belum mulai berdiri di bibir jendela. Lelaki yang selalu memakai hem lengan panjang warna hitam dengan sepatu dan celana warna senada. Lelaki yang selalu membawa setangkai mawar merah di tangan sebelah kanannya. Lelaki yang selalu memandang ke arah tenggara dengan tatapan seolah sedang menanti seseorang yang istimewa.
Lelaki itu bertinggi kurang lebih 170 senti, berambut lurus terpangkas rapi. Matanya sedikit kecoklatan dengan hidung tidak terlalu mancung tapi juga tidak bisa dibilang pesek. Kulitnya sedikit hitam kemungkinan karena terlalu sering berjemur di bawah sengatan mentari dan saya kira usianya masih kurang dari angka 30.
Lelaki itu tidak seperti burung di atas dahan itu. Dia tidak pernah bersitatap dengan saya bahkan dia mungkin juga tidak sadar bahwa saya sering memperhatikannya. Saya rasa lelaki itu benar-benar menikmati kesendiriannya di taman itu tanpa menginginkan kehadiran orang lain meski cuma lewat pandangan.
**
Pagi ini, saya bangun jam 5.30. Seperti kelaziman saya yang hampir selalu tidur telanjang, saya pun bergegas berdiri di bibir jendela. Pemandangan yang sama masih saya temui. Burung yang bernyanyi di atas dahan, embun, rumput, dan penghuni taman yang sama. Mata saya terus beredar menyapu taman tak luput pada bangku itu. Sesaat saya pikir tak ada yang kurang. Sekejap kemudian, pandangan saya arahkan pada bangku hijau itu kembali. Dia kosong. Lelaki itu belum datang rupanya. Hari ini, dia terlambat atau saya yang kepagian? Tidak. Pasti dia yang terlambat sebab saya bangun seperti biasanya saat jam weker saya menyalak pada jam setengah enam tepat.
Setengah jam kemudian, lelaki itu datang. Tidak seperti biasanya, kali ini ia datang dengan mengenakan hem warna hijau agak terang dengan sepatu dan calana senada. Di tangannya tak ada lagi setangkai mawar melainkan seikat mawar. Hari ini dia tampak ceria. Saya melihat seulas senyum tersungging di bibirnya yang kemerahan.
Semenit, dua menit, tiga menit, seperempat jam, setengah jam, satu jam, dua jam, kebahagian di wajah lelaki itu semakin berkurang. Berulang kali ia melihat arloji di pergelangan tangan kanannya lalu melongok ke arah tenggara yang tetap saja lengang. Dia ada janji bertemu dengan seseorang di tempat ini saat ini, pikir saya. Tapi siapa? Saya melihat lelaki itu tertunduk lunglai kemudian dia beranjak meninggalkan taman itu –satu hal yang luar biasa ketika dia meningglakan taman itu sebelum saya.
Sehari, dua hari, tiga hari pemandangan yang sama tetap saya lihat. Lelaki itu datang dengan suka cita lalu semua berakhir dengan semburat kecewa di wajahnya. Hari ini adalah hari yang ke empat. Saya bertekad untuk mencari tahu siapa dia, siapa yang selalu ditunggunya, mengapa ia selalu datang ke taman ini tiap pagi kemudian duduk berlama-lama di bangku hijau itu?
Saya bangun lebih awal dari biasanya. Saya berdiri di bibir jendela. Tidak dengan telanjang kali ini tetapi memakai baju meski belum mandi. Sesaat saya menunggu kedatangannya. Sepuluh menit kemudian dia datang dan seperti kebiasannya ia pun duduk di bangku itu. Kali ini dia datang dengan penampilannya semula. Hem hitam dengan celana dan sepatu senada yang membuatnya semakin misterius di mata saya. Saya tidak langsung menghampirinya. Saya tunggu beberapa saat lagi. Baru setengah jam kemudian setelah saya rasa dia nyaman dengan posisinya saya bergegas menuruni tangga ke luar rumah melangkah dengan sedikit tergesa menuju taman itu.
Saya lihat dia tetap asyik memandang ke arah tenggara membuat saya tidak enak untuk memanggilnya. Semula hendak saya urungkan niat kemudian kembali ke dalam rumah. Akan tetapi, tiba-tiba lelaki itu mengejutkan saya dengan berkata, ”Kamu sudah datang?” Dia mengucapkan kalimat itu tanpa menoleh ke arah saya. Saya bingung. dia sedang bergumam atau bicara dengan saya? Kalau itu gumaman mengapa terdengar begitu jelas? Kalau dia sedang berbicara dengan saya mengapa pandangannya tetap kearah tenggara, bukan menghadap saya?
Pertanyaan yang berkecamuk dalam benak itu tak saya hiraukan. Saya benar-benar ingin meninggalkan tempat ini secepatnya. Namun, kalimat yang dilontarkan laki-laki itu lagi-lagi menghentikan langkah saya. “Saya tahu kamu sering memperhatikan saya dari jendela kamarmu dengan telanjang.” Mendengar itu, spontan muka saya memerah karena malu. Dengan suara bergetar, saya balik bertanya, ”Bagaimana Anda bisa tahu sementara Anda selalu memandang ke arah tenggara, membelakangi jendela kamar saya?”
“Dari mimpi.”
“Maaf. Anda salah orang rupanya,” saya buru-buru mengucapkan kalimat itu begitu mendengar jawabannya yang menurut saya begitu irasional. Bahkan, sempat terlintas dalam benak saya bahwa dia adalah lelaki yang menjadi gila karena ditinggal pergi oleh kekasihnya.
“Tidak. Saya tidak salah orang. Kamu Laverna, bukan?” kali ini dia bicara tepat menghadap saya. Matanya jauh lebih mempesona dari yang biasa saya lihat lewat jendela. Matanya dihiasi alis yang tebal dan lentiknya bulu mata serta mata itu memiliki sorot setajam matahari. Ia bukan lelaki gila. “Jawablah bila kamu memang Laverna!” Saya tidak mendengar apa yang dikatakannya barusan. Saya larut dalam perasaan aneh yang tiba-tiba menggerogoti. Saya seolah tidak asing dengan tatapan, aksen, caranya mengucapkan nama saya, dan entah mengapa saya merasa begitu sejuk mendengar suaranya. Benar, saya sungguh familiar dengan segala hal yang melekat dengan pria yang tengah berdiri di hadapan saya ini.
“Benarkah kita pernah bertemu?” kalimat tanya itu keluar begitu saja tanpa kontrol dari mulut saya.
“Jadi, benar kamu Laverna?” lelaki itu kembali bertanya tentang nama saya. Belum sempat saya menjawab, dia telah membenamkan saya dalam bidang dadanya. Saya dengar denyut jantung itu, saya sangat pernah mendengar degup itu. Bau, parfum ini, hembusan nafas, hangatnya tubuh, kuatnya dekapan, dan tanda lahir hitam berdiameter kurang dari dua senti di leher sebelah kanan itu. Saya yakin saya mengenalnya, saya pernah bertemu dengannya tapi di mana dan siapa dia?
“Benar saya Laverna. Tetapi kapan dan di mana kita pernah bertemu sebelumhya?” Dia mengendorkan pelukan kemudian melepasnya perlahan. “Jangan katakan lagi bahwa kita bertemu lewat mimpi kalau Anda tidak ingin saya anggap gila. Saya tidak pernah percaya pada mimpi,” potong saya ketika dia bermaksud menjawab pertanyaan saya.
“Mungkin kamu tidak percaya bahwa kita pernah bertemu lewat mimpi dan kita saling berjanji untuk bertemu di taman ini pada hari ke sembilan bulan ini pada jam enam pagi. Saya tahu hari ini kamu berulang tahun, Laverna. Itulah alasan mengapa kamu ingin kita bertemu pada hari ini,” dia menjelaskan semuanya dengan mata berbinar dan suara yang begitu renyah menandakan ia sangat gembira akan pertemuan kami. Tapi, bagaimana ia bisa tahu tentang ulang tahun saya? 9 Maret, rasanya saya tak pernah berkoar-koar tentang hari kelahiran saya itu bahkan sejak lama saya tidak pernah merayakannya lagi. Lantas, dari mana dia tahu? Benarkah saya mengatakan semua itu melalui sebuah mimpi? “Kamu masih tidak mempercayainya, Laverna? Kalau begitu ikutlah dengan saya,” dia berkata sambil menggamit tangan saya kemudian menggandengnya secara paksa menuju ke suatu arah. Entah kekuatan apa yang dimilikinya sehingga saya bertingkah seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Saya begitu menurut ketika dia membuka pintu mobil dan menyuruh saya masuk kemudian duduk tepat di sebelahnya. Dan lagi-lagi, saya merasa pernah menaiki mobil ini, dan…boneka tazmania yang bergelantungan tepat di depan mata saya itu…bagaimana bisa boneka yang hilang setahun lalu itu bisa berada di dalam mobil ini?. Untuk membayar rasa penasaran itu, saya periksa boneka itu dan…benar itu boneka saya. Saya tidak akan pernah lupa pada huruf “L” yang saya goreskan dengan spidol merah di salah satu permukaannya. Saya semakin kaget dan bingung dengan semua ini.
“Dari mana kamu dapatkan boneka ini?” tanya saya seolah mencari keyakinan sekali lagi, tak puas dengan apa yang bercokol dalam benak.
“Kamu sendiri yang memberikannya sebelum pergi ke Austria setahun lalu. Bagaimana kamu bisa melupakan semua itu, Laverna?”dia berkata dengan intonasi sedikit menyesal.
“Ah, saya semakin tidak habis mengerti dengan semua ini!” lagi-lagi saya menggerutu.
“Sebentar lagi kamu pasti mengerti, Laverna!” ujarnya memberi saya harapan sambil mempercepat laju mobil.
Di sepanjang perjalanan, harapan saya untuk semakin mengerti dan meminimalisir kebingungan sirna. Saya benar-benar seperti orang linglung yang terkena demensia dadakan. Kembali perasaan yang sama muncul. Seolah saya pernah mengalami semua ini bersamanya. Saya melirik ke arah speedometer. Benar, hampir persis jarumnya mengarah pada angka 80 km/jam. Kemudian, di depan sana akan ada belokan lalu kami akan berhenti di lampu merah. Lantas, dia akan melempar selembar ribuan pada seorang pengemis yang duduk selonjor di trotoar di sebelah kanan traffic light. Setelahnya, dia akan memberi dua ratusan logam pada pengamen cilik yang memakai topi dari bambu. Benar, semua rentetan peristiwa itu terjadi satu persatu. Terulang tanpa terlewatkan sedikit pun. Saya hafal benar dengan peristiwa itu –padahal menghafal nama bunga saja saya tidak bisa. Saya seolah pernah mengalaminya. Tapi, mengapa saya tidak dapat mengingat nama lelaki ini –seperti saya tidak dapat mengingat nama bunga-bunga di taman yang terlihat jelas dari jendela kamar saya. Siapakah dia?
Di salah satu rumah yang berlokasi di depan sebuah masjid, dia menghentikan mobilnya, membunyikan klakson sebanyak dua kali, kemudian seorang pembantu berlari tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang untuknya. Rupanya, inilah rumah lelaki itu. Saya tetap terdiam tanpa suara. Namun, begitu mesin mobil terdiam, saya langsung membuka pintu mobil dan menerobos masuk ke dalam rumah. Saya masuki tiap ruang dalam rumah itu. Di sebelah pojok sana terdapat ruang keluarga lengkap dengan televisi ukuran raksasa. Di pojok lain terdapat ruang telepon yang bersebelahan dengan ruang tamu yang berhiaskan akuarium yang dijejali ikan hias –lagi, saya tak begitu paham apa namanya : lohan, koki, sapu-sapu, atau apalah! Kemudian, di lantai dua adalah kamar saya. Benar, kamar saya. Itu kamar saya!
Saya terdiam di kamar itu. Kemudian satu per satu bayangan itu pun muncul. Di dekat kaca hias itu saya menyisiri rambut sedangkan dia tampak sedang membaca sisa buku yang tinggal separo dengan bertelanjang dada. Selang beberapa menit, saya melihat kami telah saling berciuman, memagut, melucuti pakaian, bermandi peluh dan akhirnya tertidur lemas karena letih. Kemudian, kami bercinta kembali sampai malam benar-benar habis.
“Kamu sudah mengingat semuanya, Laverna?” tanpa saya sadari dia telah berdiri di dekat saya dan mengejutkan saya dengan pertanyaan itu.
“Ya. Saya seolah melihat semuanya berseliweran tapi tetap saya tidak tahu siapa nama kamu, Arde,” jawab saya. Tunggu, Arde? Saya menyebut nama Arde? Bagaimana bisa?
“Benar kamu telah berhasil mengingat semuanya.”
“Benar nama kamu Arde?”
“Tidak salah dan dulu kita pernah bersama.”
“Bersama?”
“Kita dulu sepasang suami istri,” jawabnya sambil menyodorkan sebuah foto kepada saya. Saya pandangi pigura itu. Benar, di dalamnya terpajang gambar saya lengkap dengan make up mahal dan gaun pengantin megah. Dan, dia mempelai lelaki itu. Berarti dia adalah benar suami saya dan saya adalah istrinya?
“Bagaimana mungkin? Saya jelas-jelas belum pernah menikah bahkan saya yakin saya masih perawan!” saya masih saja tidak percaya dengan apa yang jelas-jelas telah saya saksikan barusan. Saya melempar gambar itu ke atas ranjang kemudian melangkah ke dekat jendela dengan harapan semoga di luar sana ada seseorang yang mampu merasionalkan semua kejadian hari ini. Astaga. Saya terperangah. Konfigurasi, komposisi dan pemandangan dari jendela kamar ini sama persis dengan apa yang sering saya nikmati setiap hari belakangan ini.
“Jangan kaget! Begitulah keadaannya. Kamu yang dulu meminta saya untuk membangun sebuah taman di seberang jendela agar kamu selalu bisa ingat pada embun yang telah membesarkanmu dan angin yang telah menerbangkanmu kemari!”
“Kamu tidak sedang mengdongeng, bukan?” saya bertanya sambil berjalan menghampirinya. Saya belai kedua rahang kokohnya. Saya bermain dengan kerah baju dan kancing bajunya. Semua itu saya lakukan seolah saya ingin menikmati dan mempercayai bahwa ini adalah kenyataan bukan sekedar hayali. Tapi, ternyata saya tak bisa melakukan itu berlama-lama. Saya tak kuasa untuk tidak berteriak histeris kemudian terisak dasyat dalam dadanya sambil terus berucap, ”Siapa saya sebenarnya?”
Dia berusaha meredam tangis dengan memeluk dan membelai punggung dan rambut saya. Sesaat dia mengecup kening saya kemudian dari bibirnya dia menjawab, ”Kamu adalah istriku dulu dan semarang, Laverna!”. Mendengar itu saya terdiam seketika. Dulu dan sekarang?
Saya menatapnya sekali lagi. Saya menatapnya sekali lagi. Kosong dan damai. Sama seperti yang saya rasakan sewaktu bersitatap dengan burung yang biasa bertengger di dahan yang tidak lurus dan tidak bengkok pada pohon terindang yang terdapat di taman yang terlihat begitu jelas dan indah dari bibir jendela kamar saya. Saya menatapnya sekali lagi. Saya menatapnya sekali lagi. Saya. Menatapnya. Sekali. Lagi. Saya menatapnya. Sekali lagi. Saya…Menatapnya….Sekali…Lagi…