Thursday, April 3, 2008

Maduku

Maduku

Dalam kesendirian, aku mencoba mereka ulang raut wajahmu. Kupaksa otakku lebih aktif lagi bekerja. Tak kuedit tiap salah gores asaku tentangmu, meski sedikit, kesalahan itulah yang membuatku makin menggilaimu.
Detik ke sembilan dari menit ke sembilan belas lepas dari jam enam petang. Aku tersungkur bak onggokan sampah di atas pembaringan yang tak lagi kurasakan kenyamanan di sana. Pikirku menerawang. Menyusuri tiap gang sempit di mana kita pernah bergandengan menikmati hangatnya tiap gesekan kulit dan desiran darah yang tiba-tiba mengalir lebih cepat ketika pandangan saling beradu. Aku menatapmu. Kau pun menatapku. Tak ada suara. Seolah keheningan benar-benar menjadi ilustrasi yang tepat untuk adegan kita saat itu. Tapi aku tak tahan dengan kesenyapan ini. Perlahan kurengkuh kedua tanganmu. Kubiarkan kau merasakan debaran jantungku –aku tak tahu mengapa hari itu aku bergitu berani.
“Aku tak tahan harus selamanya begini!”
“Tidak selamanya”
“Tapi sampai kapan?”
“Biarkan waktu yang menjawab”
“Aku muak dengan jawaban itu. Waktu begitu lambat. Belum lagi, jawaban yang diberikannya seringkali membuat luka!”
“Jangan apriori!”
“Pasrah sepertimu? Tidak akan!”
“Tapi aku mencintaimu!”
“Kau memang egois. Di saat kau ingin bercinta. Kau baru ingat aku. Setelah puas, kau akan kembali memakai kedokmu. Berpura-pura menjadi suami yang baik dan bercengkrama bersama anak-anakmu yang lucu. Alangkah bahagianya?!”. Suaraku mulai tersendat. Aku ingin menangis tapi harga diri melarangku untuk meneteskan air mata di hadapannya. Tak ingin aku kelihatan mengemis cinta terhadapnya.
“Mengapa kau ingin merusak suasana indah ini dengan perdebatan tentang hal itu lagi?”
“Ah, sudahlah! Kau memang payah!”
Aku meninggalkannya. Ini bukan kali pertama hal semacam itu terjadi. Hampir bisa dipastikan, tiap akhir pekan, setelah makan siang, setelah check in di motel terdekat, kami akan berjalan-jalan mengitari taman ini. Setelah kecapekan, kami akan duduk di salah satu bangku atau berdiri saling mematung untuk kemudian memulai perdebatan yang akan mengakhiri kencan akhir pekan itu. Ya, aku sadar. Aku hanya orang ke tiga dalam rumah tangganya.
**
Sebulan sudah kami tidak bertemu. Dia yang selalu menghubungiku. Di kantor, rumah, ponsel, bahkan sampai menguntit ke mana aku pergi. Aku berusaha tidak menemuinya. Aku menghindarinya. Ah, tapi ternyata itu bakan hal yang gampang. Wajahnya selalu saja hadir di pelupuk mata saat aku sendiri. Aku mulai merindukannya. Aku haus belaian lembut tangannya di atas dinginnya kulitku. Aku ingin kembali merasakan hembusan nafasnya menerpa tengkukku untuk kemudian kami larut dalam atmosfir cinta yang semestinya tak boleh.
Aku melirik ponsel di sebelah kananku. Aku merindukannya. Aku butuh dia. Aku harus bertemu dia hari ini, pikurku. Kuraih ponsel itu. Kubuka menu message lalu kuketik : aku kangen. Bisa ketemu? Kutunggu di tempat biasa. Aku baca berulang-ulang kalimat itu. Aku ragu menekan tombol OK agar pesan itu terkirim. Kubaca sekali lagi, tak ada yang berubah. Kutarik nafas dalam-dalam lalu dengan mata terpejam kutekan tombol OK. Message sent. Tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Aku lega. Kembali akau terdiam. Termangu. Pikiranku menerawang lagi-lagi. Antara menyesal dan lega berbaur. Tapi, tidakkah aku terlalu berani? Mengemis cinta padanya?. Tiba-tiba hp-ku berteriak. Kulihat nama yang muncul pada LCD-nya. Andreas. Kubiarkan ringtone ponselku terus mengerang. Aku takut menerima telponnya meski aku sangat ingin mendengar suaranya. Akhirnya ringtone itu diam dengan sendirinya. Dia menutup telepon. Mengapa dia begitu mudah menyerah? Telpon aku sekali lagi, batinku. Hp-ku berdering sekali lagi. Nama yang sama muncul. Aku tak ragu lagi, kujawab telponnya.
“Halo”
“Diza. Kenapa tidak segera diangkat?”
“Aku lagi mandi,” aku berbohong.
“Jam segini mandi?”. Dia tahu aku sedang berbohong.
“Sudahlah tak penting kenapa. Bagaimana, bisa nggak?”
“Sorry besok aku ada janji sama Bayu pergi ke toko buku”. Dia menyebut nama anak pertamanya dengan Shinta, istri sahnya, rivalku.
“Ok, nggak pa-pa. Tapi aku akan tetap ke sana dan menunggumu. Kalau kamu tetap nggak datang anggap saja semua sudah berakhir. Selamat malam!”
Telpon kututup. Aku tak peduli apa yang dia pikir tentangku. Kupejamkan mata, mencoba untuk tidur. Akhirnya terlelap juga, lega rasanya…
**
Menit ke lima belas. Aku belum letih menunggu. Kusapu tiap celah alam di taman ini. Masih seperti beberapa waktu lalu, hanya saja kulihat mawar putih di paling ujung sana telah berkurang setangkai. Aku tersenyum. Kubuka organizer yang sedari tadi tergenggam di tanganku. Di dalamnya, di antara coretan-coretan agenda meeting dan amburaradulnya jadwal terselip mawar putih yang telah mengering. Kembali aku terdiam. Pandanganku tetap terfokus pada mawar kering itu. Ya, aku tak ingin melupakannya begitu saja. Dia yang kukenal tujuh tahun silam ketika masih sama-sama aktif dalam teater universitas lantas terpisah oleh kesibukan masing-masing untuk menggapai cita tapi kemudian dipertemukan kembali di kota ini. Dan perasaan yang terpendam tujuh tahun silam itu pun bersemi kembali. Namun, apa mau dikata, rupanya nasib tak berpihak padaku. Ia telah kawin dengan rekan sekerjanya, sementara aku masih saja sibuk berkarier hingga melupakan keinginan berumah tangga. Ah, aku memang bodoh,. Mengapa tak kuungkap cinta itu dulu?
“Bodoh!”
“Siapa yang bodoh, Diza?”
Aku terperanjat. Tanpa terdengar olehku, ia telah datang, duduk persis di sampingku.
“Aku yang bodoh!”
“Tak selayaknya seorang PR Manager bintang lima semacam dirimu berkata demikian”
“Aku wanita, And!”. Aku langsung emosi, ”Istrimu juga wanita. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya jika diriku adalah Shinta. Wanita yang teramat baik tapi bersuami tukang selingkuh macam engkau, Andreas!”
“Aku tak pernah ingin berselingkuh denganmu, Diza. Demikian pula Shinta. Dia tak pernah merasa kubohongi. Malah dia sendiri yang mempersiapkan bajuku untuk bertemu denganmu!”
“Itu karena tak kamu katakan kemana dan siapa yang akan kamu temui. Jangan pikir kau dapat membohongiku seperti yang kamu lakukan terhadap anak dan istrimu, Andreas!”
“Kau memang tetap tak berubah. Masih saja keras kepala!”
“Benar, Andreas. Aku memang keras kepala. Itulah yang membuatku merasa bodoh dan tolol. Mengapa aku harus mempunyai harapan untuk tetap hidup bersamamu. Mengapa aku harus rela menjadi wanita selingkuhanmu?” aku tak lagi dapat menahan tangis. “Aku capek selalu terkejar perasaan bersalah, berdosa karena merusak rumah tangga orang lain. Apalagi istrimu yang halus budi itu, ah, betapa terkutuknya aku, Andreas!”. Isakku semakin menjadi sampai-sampai aku tak sadar Andreas telah berdiri dengan sikap aneh. Tak kuduga, Shinta telah berada di antara kami.
“Mbak Diza nggak salah. Saya yang tidak tahu kalau dulu Mbak Diza dan Mas Andreas pernah saling mencinta. Mas Andreas cuma bilang kalau tujuh tahun silam ia punya sahabat dekat wanita. Dan saya baru tahu beberapa bulan lalu kalau kalian kembali bertemu dan berhubungan. Akan tetapi, Mbak Diza saya harap juga mengerti bahwa saya juga mencintai Mas Andreas demikian pula Mas Andreas, terbukti Bayu telah hadir di antara kami.” Shinta berkata dengan tenang dan datar di saat aku benar-banar kalap, tak mesti berbuat apa. ”Mabak Diza..,” Shinta berkata sambil merengkuh pundakku lalu ditatapnya mataku, ”Mbak benar-banar mencintai Mas Andreas?”. Kubalas tatapannya. Matanya bening meneduhkan. Dia benar-benar wanita, tidak seperti aku. “Mbak Diza, tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur,” Shinta memepertegas kalimatnya. Aku hanya terdiam. Menunduk seperti pesakitan. “Kalau memang kita berdua mencintai orang yang sama, mengapa kita tidak mengabdi sama-sama kepadanya?”
“Apa maksudmu, Shinta?”
“Saya yakin Mbak tahu apa maksud saya”
“Jangan bercanda, Shinta! Maksudmu, kita berdua menjadi istri Andreas, begitu?”
“Kurang lebih demikian. Saya rela dan ikhlas bila itu demi kebahagian Mas Andreas, anak saya dan Mbak Diza sendiri. Bagaimana, Mbak?”
“Kamu gila!”
“Saya tidak gila. Saya waras. Kalau saya gila tentulah saya akan membiarkan Mas Andreas dan Mbak Diza berzina setiap saat dan saya tak menginginkan hal itu. Keinginan saya adalah kebahagian kalian berdua selain tentunya keluarga saya tetap utuh”
Aku melihat ke arah Andreas. Dia tampak lebih tenang daripada beberapa menit lalu.
“Mbak tak usah bertanya pada Mas Andreas. Saya yakin dia setuju, betul khan, Mas?” Shinta bertanya pada Andreas tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. “Mbak lihat khan, Mas Andreas telah setuju, sekarang bagaimana dengan Mbak Diza sendiri?”. Aku terdiam lagi. “Ah, saya pikir kalian berdua butuh bicara. Saya pergi dulu, Mas!”. Shinta pun berlalu menyisakan sisa keteduhan dari kata-katanya. Aku dan Andreas tetap termangu. Dia. Larut dalam pikiran masing-masing. Ya?!

No comments: