Thursday, April 3, 2008

Triple

Triple

Sudah lebih setahun saya menikah dengannya tetapi tak pernah secuil pun tubuh ini pernah disentuhnya. Mengapa? Pertanyaan itu selalu saja muncul. Puluhan jawaban bertebaran dalam benak tapi secepat jawaban itu terbersit secepat itu pula saya menepisnya.
*
Namanya Gyrs. Kami menikah atas nama sebuah perjodohan dengan alasan klise : desakan orang tua untuk segera mengakhiri lajang mengingat usia yang boleh dibilang tak lagi muda. Usia kami sama-sama kepala tiga lebih beberapa tahun, keluarga besar tak mau menanggung malu karena salah satu anaknya tak kawin-kawin. Walhasil, pernikahan pun terselenggara. Puas?
*
Namanya Abel. Usianya 3 bulan lebih tua dariku. Dia tidak terlalu ganteng. Dia juga bukan tipe lelaki idaman. Tapi begitulah, dia mampu meyakinkanku untuk tidak segera menikah setelah mengenalnya. Menikah berarti merelakan sebagian kebebasan menikmati hidup, itu yang selalu ditekankannya. Dia juga mengajari bagaimana harus menjalani hidup. Aku memang rapuh meski terkesan tegar. Dialah yang selama ini mampu menjadikan segalanya menjadi lebih logis bagiku. Benar, menikah mungkin baik untuk orang lain tapi tidak untuk kita, pernah suatu ketika ia merasionalkan penolakannya untuk segera melamarku. Aku mengamininya. Logis saja, aku yang sedang bermimpi, bagaimana kami bisa menikah? Yang benar saja..
*
Gue kenal Gyrs sekitar 2 tahunan. Sebenarnya, dia cerdas cuma terlalu naïf. Kalo nggak sesuai aturan, semuanya bakal diprotes. Nggak cuma itu, dia sering terlalu baik sama orang lain. Bahkan, lagi banyak-banyaknya kerjaan atau sebete apapun ia bakal ngasih senyum sama orang lain. Gue selalu ngacungin jempol buat manajemen kemunafikan yang sukses ia pelihara. Tapi, jujur, hal-hal kayak gitulah yang bikin gue ngerasa Gyrs adalah belahan hati yang selama ini gue cari. Dia selalu bisa ngepahamin, bahkan tanpa gue bilang apapun, dia udah tahu apa yang gue pingin. Kedengarannya memang egois tapi gue ngertiin juga apa isi hati MyGyrs. Dia butuh orang yang bisa ngelindungin, bilang tidak untuk beberapa argumentasinya, ngelarang dia, dan seorang yang bisa ngebentak dia dengan logis. Dan gue rasa, gue lah orang itu. Meski gue sadar, gue nggak bakal pernah mau merit sama dia.
*
Namanya Getta. Keturunan India Dravida. Tidak terlalu cantik, tidak juga menunjukkan kalo dia wanita yang smart. Aku menikahinya 2 tahun silam. Mungkin benar, menikahinya adalah suatu kesalahan. Menikahinya berarti melibatkannya dalam permainan ini. Menikahinya juga berarti menjadikan dia sebuah manekin dalam rumah tangga ini. Menikahinya sama dengan menambah beban kehidupannya sebagai perawan tua yang dipaksa menikah.
Getta bukanlah perempuan yang tidak baik. Bahkan, dia teramat baik untuk lelaki sepertiku. Seperti lazimnya seorang istri, pagi hari ia menyiapkan sarapan, baju kerja, mencium tangan sewaktu aku hendak ngantor, menyiapkan makan malam, dan bersiap ke ranjang. Untuk yang terakhir, mestinya semua berjalan sebagaimana layaknya pasutri tapi..
*
Saya tidak akan pernah menyesali pernikahan ini. Meski hasil sebuah perjodohan, saya rela melepaskan atribut wanita karier yang selama ini saya kejar hingga telat kawin. Prinsip saya, menikah adalah untuk sekali. Jangan bilang saya terlalu memaksakan diri. Dua tahun tidak diberi nafkah batin, kenapa tidak bercerai saja?
C E R AI …?!?
Saya tidak menutup mata atas semua kemungkinan. Tapi inilah yang bakal terjadi..
Entahlah..
*
“Pak Abel, selamat siang. Perkenalkan nama saya Getta. Saya memang tidak ada janji ketemu Anda siang ini. Tapi apa yang akan kita bicarakan jauh lebih penting dari sebuah protokoler kantor”
“It’s ok. I’m free. Can I Help you..?”
“Nyonya,” tegas saya begitu melihat ia kebingungan antara memanggil saya Nona atau Nyonya. “ Tepatnya Nyonya Getta Gyrswantara!”

*
“Buat apa kamu datang ke kantor rekananku?”
“Rekanan yang mana? Kalo maksud Mas adalah Pak Abel, saya pikir dia lebih dari sekedar rekanan..”. Apa dia belum cerita? Perlukah semuanya dipertanyakan lagi? Atau.. jangan-jangan kamu hanya ingin lebih menyiksa saya? “Saya bukan wanita yang bisa menulikan kuping atas semua selintingan yang menyinggung suami sendiri, Mas..”
“Maksud kamu?”

*
to : MyGyrs @ Yahoo. Com
From : AbelMu @ Yahoo. Com
Gyrs..setelah istri lo nyamper ke kantor, gue jadi mikir. Apa sich yang selama ini lo perjuangin buat gue? Gue nggak se-worth it yang lo kira. Nikahin lo aja gue kagak pernah mau. Gue emang cinta lo tapi gue juga manusia, Gyrs. Gue nggak tega ngeliat istri lo nangis di depan gue, bilang kalo kehidupan perkawinannya nggak happy gara-gara gue. Padahal, istri lo udah berkorban begitu banyak. Ninggalin karir yang lagi moncer, nggak selingkuh, nurutin ape kata lo…
Sewaktu lo mutusin buat nikah, dalam hati gue udah nyadar ini semua pasti bakal kejadian. Ibarat bangkai, sekarang ni semua orang udah bisa ngecium baunya.
Lo juga mesti inget, Lo sendiri yang udah nyalain api lewat pernikahan, lo juga yang mesti madamin api itu. Bukan bareng gue tapi lo sendiri, Gyrs!
O ya, gue sekalian pamit. Lusa gue move ke Paris…
Take care..
*
Abel..aku di depan Eifel..would u come., my soulmate..
sender
MyGyrs
0811271044
17-12-2005 11:22
*
Sudah lebih setahun saya menikah dengannya tetapi tak pernah secuil pun tubuh ini pernah disentuhnya. Mengapa? Pertanyaan itu selalu saja muncul. Puluhan jawaban bertebaran dalam benak tapi secepat jawaban itu terbersit secepat itu pula saya menepisnya.

Anjing

Anjing
Aku berusaha mencari anjing yang biasa berak di kepalaku mengotori tiap celah otakku. Ah, mengapa akhir-akhir ini anjing itu tak lagi datang untuk sekedar menyalak sekali dua kali kemudian berak? Ke mana gerangan anjing itu?
Malam ini langit gelap. Dingin angin bertiup menggoyangkan tirai bambu di samping jendela kamarku. Sepi. Tak ada manusia yang biasanya bicara ngalor-ngidul sambil sesekali terbahak. Tawai derai itu malam ini benar-benar tak terdengar. Ya, hujan seharian rupanya membuat manusia-manusia itu memilih diam. Berlindung di balik selimut sambil memeluk guling erat. Ya, mereka kebanyakan masih lajang. Kalau tidak maka istri mereka tinggal jauh dari tempat ini, negeri perantauannya.
Lagi-lagi aku teringat anjing itu. Malam ini aku ingin ia berak di kepalaku seperti biasanya. Tapi sia-sia. Ia tak kunjung datang. Bahkan, hingga kantuk mulai menghardikku. Ahh..penat bercampur pegel bersarang di tubuh tipisku. Kurebahkan badan dan beberapa tak lama aku pun pulas.
Tiba-tiba dalam tidur kulihat anjing itu. Namun, kali ini ia tak datang dengan wujud anjing –entah bagaimana aku tahu bahwa itu anjing yang kucari. Tapi aku yakin itu dia. Sesaat kulihat ia muncul sebagai sosok bersayap putih seperti malaikat yang sering menuntunku waktu kecil tatkala aku takut gelap. Akan tetapi, sekejap kemudian kulihat dia berubah jadi menyeramkan. Dia berubah menjadi iblis bertanduk dan berwajah merah. Aneh, wajah seram itu malah tidak membuatku takut.
Aku mendekati penampakan anjing yang biasa berak di kepalaku itu. Kuelus kepalanya. Kubisikkan setiap kata secara perlahan agar dia tenang. Benar, aku tak takut sedikit pun pada wajah seram itu. Malah, sepertinya semakin kudekat dengannya aku semakin merasa aman. Terlindungi. Bahkan, aku ingin bercengkerama, bercumbu, dan bercinta dengannya.
Aneh. Aku semakin berani mengelus wajah seram itu. Aku terus mengelus dan mengelus hingga akhirnya elusan-elusan itu menenangkannya. Dia menjadi kalem. Menurut. Bahkan, ketika kuhadapkan wajahnya ke arahku ia manut begitu saja. Jadilah wajah kami saling berdekatan dengan jarak kurang dari dua senti. Mata kami bersitatap lekat. Wajah kami kian dekat. Kemudian, semua berakhir tanpa sekat. Benar, aku dan anjing yang biasa berak di kepalaku itu berciuman. Kunikmati tiap pagutan bersamanya. Kelenjar ludah kami benar-benar telah bercampur dalam ciuman yang benar-benar dasyat. Ciuman yang benar-benar hebat.
Dan...
Tiba-tiba..
Kemudian..
Wajah seram itu berubah menjadi dia. Seketika semuanya membuatku ternganga. Heran, mengapa anjing itu menjadi dia?
**
Dia. Lelaki. Aku. Lelaki. Dia. Aku. Dia dan aku. Dia atau aku. Mengapa dia dan aku? Mengapa aku? Mengapa dia? Mengapa dia atau aku? Atau... Dia... Aku... Dan..
Lelaki itu bernama Angga. Lelaki itu bernama Krisna. Angga adalah lelaki. Krisna juga. Hanya saja, Angga mampu membuat Krisna menjadi perempuan dan melupakan bahwa dia adalah lelaki. Krisna juga. Dialah yang mampu menjadikan Angga menjadi lelaki. Mengayomi, melindungi, dan ingin dibutuhkan. Angga adalah dia. Krisna adalah aku. Angga dan Krisna adalah kami. Benar, kami dulu adalah sepasang kekasih. Dulu? Ya, sebab sekarang kami telah berakhir.
Semenjak dia tak lagi menghargai bahwa aku telah menjadi wanita. Semenjak dia tak lagi menghargai ketika payudara telah melekat pada dadaku. Semenjak dia tak dapat lagi menghisap tubuhku. Semenjak penisku telah menjadi vagina. Benar, semenjak aku telah merasa dan sangat ingin menjadi perempuan demi dirinya.
Benar. Angga mendepakku saat aku benar-benar ingin membuatnya bahagia. Aku menjadi perempuan kemudian dia meninggalkanku.
Bersamaan dengan perginya Angga, anjing yang biasa berak di kepalaku itu pun tak pernah lagi datang. Hingga malam itu. Malam di mana anjing itu berubah menjadi Angga. Angga yang dulu kekasihku. Apakah makna semua ini?
**
Anjing itu menjadi Angga ataukah Angga yang terlihat di mataku dengan wujud yang berubah-ubah? Malaikat, setan jahat, lantas anjing? Aku tak peduli. Segera kuhempas tubuh Angga yang masih tampak setengah anjing di mataku. Oh, benarkah Angga siluman anjing atau mataku yang telah tidak waras?
“Krisna, akulah anjing yang selalu berak di kepalamu.”
“Anjing.”
“Akulah yang selalu kamu rindukan”
“Anjing?”
“Aku yang selama ini selalu menidurimu.”
“Anjing!”
“Anjing?”
“Anjing yang telah meninggalkanku karena aku menjadi perempuan?”
“Anjing?!”
“Anjing yang telah mengakhiri sebuah komitmen hanya karena sebuah kelamin”
“Anjing.”
“Benar. Kamu anjing, Angga!”
Angga mengelepar-gelepar setelah itu. Tubuhnya masih tetap berwujud setengah anjing. Angga terus berteriak. Meraung dan ia pun tak sadar ketika suaranya mulai berubah menjadi gonggongan seiring dengan bibirnya yang telah berubah menjadi moncong dan hidungnya yang otomatis menjadi hidung anjing.
“Kamu memang anjing,Angga!”

Di Pojok Taman Bekas Kebun Binatang

Di Pojok Taman Bekas Kebun Binatang
Malam masih sedemikian pekat. Detakan jam dinding itu bagai langkah-langkah yang siap menggiringku menuju kesepian tak bertepi. Aku terjaga, sedari tadi. Hingga pagi terjelang.
***
Aku tersudut di taman ini. Sendiri. Dedaunan beringin jatuh perlahan tak berdaya menahan desahan angin. Kunikmati tiap bunyi kresek dedaunan kering yang beradu gesek dengan seretan langkah yang diganduli keraguan. Angin menampar wajahku sedikit membuat wajah pucatku terpoles setitik hangat mentari pagi ini. Embun mengapa engkau berlalu? Tidakkah kau ingin mentari menyebadanimu?
Aku terpatut pada air kolam di hadapku. Tak kutangkap bayanganku dipantulkannya. Kulihat hanya beberapa ekor serangga yang sibuk mempertahankan hidupnya yang di ujung tanduk –salah siapa kau harus jatuh ke kolam itu?
Air kolam itu tak jernih. Hijau. Tertutup dedaunan yang jatuh kemambang di permukaannya. Kuambil sebongkah batu. Kulempar. Blung. Batu itu tenggelam. Dedaunan pun tersibak. Kunikmati air kolam itu. Jernih. Tapi, aku tak terima. Kulempar sebongkah batu, kali ini lebih besar. Blung. Batu itu lagi-lagi tenggelam. Tapi, mengapa lagi-lagi air kolam itu tak mengeruh? Ayo mengeruhlah! Biarkan kekeruhanmu memvisualkan keruhnya benakku! Ayo, mengeruhlah! Bangsat! Mengapa kau terdiam?
“Selamat pagi, Dizza!”
Bayanganmu tiba-tiba menyeruak dari dasar kolam yang barusan kuumpat. Sedang apa dirimu di situ? Aku membatin. Melongo. Hanya menatapmu. “Mengapa tak kau jawab salamku,Dizza?” Aku tetap diam. Mataku terasa panas karena lama menatapmu. Aku kerjap-kerjapkan mataku agar kembali normal. Seluas senyum kau lempar padaku “Tidakkah kau merindukanku?”. Kupalingkan muka dirimu. Kalimatmu barusan laksana badai menghantam. Semestinya kau tak bertanya. Tidakkah mataku telah bicara? Aku tak ingin semuanya diverbalkan lewat bahasa bibir, aku takut perasaan terdalmku akan luntur! Tapi, mengapa kau masih bertanya? “Cinta….?!”
“Tidak! Jangan panggil aku cinta. Panggil aku iblis. Aku membencimu. Aku tidak pernah mencintaimu!”. Peluh membasahiku. Kata-kataku terbata. Tenggorokanku memanas. Bahasa tubuhku mengisyaratkan emosi tak beraturan. Aku kembali mengingkari nurani. Kembali aku menuruti ego. Aku malu mengaku cinta padamu. Aku takut kalah. Aku tak ingin kau menang. Aku khawatir kau akan besar kepala kemudian menganggapku sebagai koloni yang berhasil tertaklukkan. Tidak, tidak, aku tidak akan pernah mencintaimu. Ah, tapi aku mencintaimu. Bagaimana ini? Ah, keparat! Kau kemabali meracuniku dengan kegamangan. “Pergilah, aku tak ingin kau hadir di sini!!”. Aku kembali mengumpatmu, kembali kutangisi egoku.
“Cinta, kau tetap tak berubah. Baik, aku pergi. Berteriak dan panggillah namaku bila kau telah berubah pikir. Selamat pagi!”. Kau balikkan badan, pasti melangkah meninggalkanku. Aku begitu benci dengan diriku, mengapa aku begitu angkuh?
“Tunggu,,!”
Teriakkanku menahan langkahmu. Kau putar badan, kembali menghadapku. Seluas senyum kau simpul. Ah, senyummu begitu manis meski terkadang kerap membuatku sakit. ”Tidak. Aku membencimu. Pergilah!”. Mengapa aku mengatakan itu? Semestinya kukatakan: “Jangan, jangan pergi. Ucapkan bahwa kau mencintaiku, sekali lagi!.” Kau kembali melangkah. Tak ada semburat kecewa di dirimu. Seolah kau begitu yakin kalau aku akan kembali memanggilmu. “Tunggu, jangan tinggalkan aku!” teriakanku kembali menahanmu. Kau tak segera berbalik ke arahku. Seolah kau sedang menanti kelanjutan kata-kataku barusan. Aku bingung. Lama aku terdiam, tak mengerti apa yang harus kukatakan. Kupukul-pukul kepalaku, berharap satu gagasan muncul dari sana. Tapi tak ada. Aku semakin panik. Tengkukku memanas. Jangan, jangan pergi! Ingin sekali kuucapkan kalimat itu lagi saat kau beranjak hendak mengayun langkah, “Tunggu!”. Kini teriakkanku benar-benar tak lagi dapat mencegahmu. Aku tergagap. “Ya..ya… aku mencintaimu,Asmara!”. Kauhentikan langkah, berbalik ke arahku untuk ke sekian kali. Kau ulurkan kedua tanganmu, aku menghambur ke arahmu, berusaha memelukmu, memebenamkan wajahku di dadamu, hingga tiap denyut jantungmu menggetarkan membran kupingku. Secepat mungkin kuberlari menggapaimu, berlari, berlari dan berlari hingga dirimu pun begitu dekat denganku. Tapi, tatkala aku ingin merengkuhmu…
”Tidak……..”. Teriakkanku mencuri fokus orang-orang yang berada di taman ini. Mereka aneh memandangku. Engkau hanyalah ilusi, kau tak ada di sini. Kau jauh di antah berantah. Aku terinroyeksi olehmu. Tapi, mengapa, kurasa, ini begitu nyata? Benarkah kau pasangan jiwaku yang sesaat lagi menyapa?
Kupahatkan kata per kata pada kertas tak bergaris ini
Kusedang menanti
Entah siapa
Kubiarkan waktu berlari
Toh, ia akan membawamu kemari

“Pagi, Dizza! Sudah lama nunggu ya?”
“Siang tepatnya! Relatif. Kondisional. Kita janjian jam tujuh. Sekarang hampir jam sembilan. Dua jam aku di sini. Jika dalam hitungan dua kali enam puluh menit itu dianggap lama untuk menunggu kedatangan seseorang maka akan kujawab aku telah lama menunggumu. Tapi bila waktu hanya dianggap sebagai deretan angka yang berlari, itu berarti aku baru sebentar menunggumu!”.
Wajahnya tetap cuek. Seolah tak ada salah. Namanya Ciptaranggeni. Aku biasa memanggilnya Cipta saja. Kukenal dia dua tahun silam, entah bermula dari mana awalnya, aku lupa. Kulihat ia mengambil sesuatu dari dalam tas dagadu leceknya yang entah telah berapa lama tak tersentuh detergen. Aku pura-pura tak melihatnya.
“Ini untukmu,Dizza!”. Disodorkannya setangkai mawar putih padaku.
“Tidak usah sok romantis. Aku tak suka. Jadi, hanya untuk hal semacam ini kau membuatku jamuran di sini? Lagian aku tak ingin ucapan cinta lewat bunga, tapi ucapkan cinta dengan berani,Bung!!”. Kuakhiri kalimatku dengan gelak tertawa, tapi aku terdiam segera ketika kulirik ia tak bergeming menatapku. Tak seperti biasanya makhluk ini begitu serius.
“Aku serius, aku mencintaimu Dizza!”
Akting apalagi ini, pikirku. Aku terdiam. Kutatap matanya dalam. Kutelusuri tiap lekuk korneanya. Aku kikuk. Tak mungkin. Mengapa pandangan itu hari ini lain, tidak seperti biasanya?
“Aku mencintaimu,Dizza!”
Lagi-lagi aku terdiam. Bibirku beku. Aku berlalu tak menghiraukannya. Tapi sebelum benar aku meninggalkannya di pojok taman bekas kebun binatang ini, aku sempat berbisik padanya. “Aku ragu. Benarkah dirimu belahan jiwa yang baru saja kulamunkan sewaktu menunggumu? Maaf. Tapi biarlah waktu yang bicara. Akankah esok, lusa, minggu depan, atau kapan pun saatnya kita dipertautkan dalam cinta. Terima kasih mawar putihnya, meski tak suka, tapi aku bahagia mencium aroma tas bututmu yang menempel padanya!”

Dia

Dia
Mencoba untuk pejamkan kedua mata. Tak bisa. Hanya tenggorokan terasa kering. Haus. Sialan, stok air habis, umpatku. Mencoba ‘tuk dapat kembali terlelap. Tetap tak bisa. Malah teringat “dia”. “Dia” yang kemarin mengirimiku pesan bertulis: “ada apa say? Untuk kali ini aku tak bisa telepon atau pun ngebales. Jadi, kamu SMS saja. Ada apa tho?.” Tak segera kubalas pesan pendek yang dikirim bukan dengan nomor hp-nya sendiri itu. Kupikir, SMS itu biasa, tak ada yang salah. Namun, ternyata tidak. Pikiranku nglantur. Dan, pesan itu pun berubah menjadi : “Cinta, ‘met bobo ya! Aku sayang kamu.”
Gila. Hentikan. Aku tak ingin jatuh cinta –lagi?
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**
“Dia”. Lelaki yang berhasil mencuri hatiku sekarang ini kukenal dua tahun silam. Mestinya aku tak boleh mencintainnya. Mengapa? Karena sebuah alasan yang sudah teramat gamblang: “dia” tak pernah mencintaiku, kata mereka. Bahkan, “dia” mengaku sendiri di hadapku bahwa dirinya mencintai waanita secantik dan seseksi Jenifer Lopez. Bukan, seperti aku. Sebuah lahan tandus yang hanya mampu menjadikan benih gabuk. Sungguh, aku tahu, “dia” tak pernah mengharapkan aku.
Tapi, mengapa kami selalu saling mencuri lihat? Memandang saat jarak masih jauh? Bahkan, meski semua seolah tampak wajar, kami menikmati tiap pelukan dan sentuhan yang acap kali terjadi. Tak jarang, saat “dia” berujar kesal karena tak ada yang menghargai dan membutuhkannya maka mantap aku berucap, ”Aku membutuhkanmu untuk tetap bisa bernafas.”. Kami pun tertawa bersamaan. Tawa yang dipaksakan. Tawa yang semestinya berubah menjadi keseriusan karena perasaan terdalam telah terlontar tak pernah terjadi.
Ah, kisah macam apa ini? Mengapa tak ada keberanian? Ingin kuakhiri tapi....
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**
“Dia” tak datang memenuhi janjinya seperti biasa. “Dia” memang selalu begitu. Mengumbar kata ya dan anggukan pada semua seolah mampu melakukan semua sekaligus dalam bersamaan. “Dia” memang selalu begitu. Hanya ingat mereka –teman-temannya- bukan aku. Bahkan, aku sering merasa “dia” tak ada saat kubutuhkan. Ah, memangnya aku ini siapa. Aku bukan siapa-siapa apalagi pacar. Kalau sudah begitu aku hanya berucap,”Dasar lelaki tak berguna. Di mana engkau saat aku perlu?”. Dan, selalu saja, dia memang begitu. Membalas semuanya dengan tawa. Tawa yang teramat tidak bagus. Taawa yang membuat sakit telinga bagi yang mendengarnya. Tentu saja, tawa yang membuat wajahnya semakin tak karuan. Ah, kalau sudah begitu aku pun tak sanggup lagi untuk tidak juga tertawa.
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**

10.30
Aku bertemu “dia”. Entah magnet apa yang menyeretku untuk mendekatinya. Aku tak ingin lagi bicara dengan “dia”, semula. Namun, toh semua itu sia-sia ketika hari ini “dia” datang setelah berhari-hari kami tak bertemu. “Dia” mengurai semua alasan mengapa “dia” tak ada selama ini. Tak kugubris semua itu. Kemudian, lagi-lagi, aku berujar, ”Dasar lelaki tak berguna!”. Kupikir “dia” akan tertawa seperti biasanya. Ternyata tidak. “Dia” mengulang kalimat itu dengan intonasi yang tak kutahu entah apa maksudnya. Perlahan aku lebih mendekat padanya. Kemudian, kurengkuh pundak itu. “Kamu tersinggung?” tanyaku. “Dia” membuang pandang. Aku yakin “dia” tersinggung. Aku berusaha membuatnya menatapku dengan merapatkan tubuh. Benar, kami bersentuhan. Darahku seolah mendidih. Benar, aku ingin “dia” mendekapku. Tapi, aku tak ingin larut dalam kondisi semacam itu. Kunetralisir semuanya dengan pura-pura tak peduli dan kembali menjaga jarak dengannya.
“Aku tak suka orang yang terlalu suka menonjolkan diri,” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibirnya.
“Jadi, kamu tidak menyukai aku?,” aku keceplosan. Tak seharusnya kuucap kalimat itu, sesalku.
“Sudah pasti....,” ”dia” tak langsung melanjutkan kalimatnya, ”Aku menyukaimu,” lanjutnya sembari memutar badan membelakangiku.
Aku mendengarnya, melihatnya, kemudian kuterdiam. “Dia” memang selalu begitu.
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?

Dosen, So What?!

Dosen, So What?!
“Oh, My God!”
“Iya. Bener. Gue nggak becanda!”
“Elo jadi dosen?”
“Gue nggak bisa ngebayangin”
“Maksud lo?”
“Gue nggak bisa ngebayangin gimana ntar lo ngajar, ketemu mahasiswa, an so on..”
“Gue datang ke lo bukan buat diledekin, tau!”
“Sorry, say! Not supposed to be… By the way, lo yakin?”
**
Tidak tahu. Aku menyimpan jawaban itu dalam hati. Hal yang sama aku lakukan untuk setiap pertanyaan senada yang dilontarkan tak hanya oleh teman baikku tapi semua orang yang merasa mengenalku.
Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. Di satu sisi, aku merasa bahagia karena dari sekian pelamar salah satunya aku yang diterima. Di sisi lain, aku takut dengan dengan dunia ini : dosen?
Penuh orang-orang serius, birokrasi, prosedural, argumentasi yang kadang mengada-ada, serta hal-hal lain yang selama ini tidak aku suka kini hampir tiap hari aku temui. Lama-lama, Aku bisa gila…
**
“Dijalanin dulu, Di! Liat ‘tuh di luaran, banyak yang masih pontang-panting nyari kerja nggak dapet-dapet..”
“Tapi Dian ngerasa itu bukan dunia Dian sekarang Bu!”
“Mbok ya kamu jangan mengada-ada Di.. Pas kamu ketrima di jurusan komunikasi kamu bilang nyasar. Kerja di radio yang dibilang teman-temanmu cocok buat kamu pun sekarang buktinya kamu keluar. Padahal, kamu dulu juga bilang “This is my world!”. Sekarang, dengan entengnya kamu bilang ngajar bukan duniamu? Lantas, besok apalagi Di?”
“Di kampus itu dipenuhi oleh basa-basi, ngomongnya panjang, muter-muter, tapi ujungnya Cuma satu : merjuangin kepentingannya sendiri. Bahkan, ada yang lebih parah dari Dian. Mengatasnamakan pendidikan untuk nyari keuntungan. Capek dech, Bu! Dian bisa gila lama-lama Bu..”
“Maksud kamu, mau keluar lagi? Atau ngerasa nggak cocok lagi?”
Cuma hempasan nafasku yang menjawab.
“Sebelumnya, di radio dulu kamu juga kayak gitu! Padahal kamu khan menyukai dunia itu. Siaran, musik, ketemu orang…”
“Itu lain soal, Bu..”
“Lain soal bagaimana?”
“Dian nggak mau ngebahasnya lagi. Kita sudah pernah ngomongin itu”
“Iya. Tapi kamu baru ngomong setelah kamu resign khan? Bahkan, sampai sekarang pun kamu belum ngasih alasan yang jelas tentang keputusanmu itu tho?”
“Apalagi yang belum Dian critain, Bu?”
“Ibu nggak habis pikir, sebenarnya apa yang kamu cari, Di!”
“Ibu nggak bakal habis pikir kalo ngerasa bekerja keras tapi digaji kecil kayak Dian”
“Loh, itu tho masalah yang sebenernya?”
Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. “Trus, di kampus tempatmu ngajar itu juga kamu bakal digaji kecil juga?” ibu bertanya hati-hati sambil perlahan menghampiriku.
“Di..tolong dengerin ibu kali ini ya. Nggak selamanya semua hal itu dibalas dan dinilai pake uang. Siapa tahu ini Cuma jalan yang kamu mesti lalui dulu sebelum tujuan kamu itu tercapai”
“Tapi Dian ingin kaya Bu..”
Ibu tertawa mendengar jawabanku.
“Masa ibu dosen jawabannya kayak gitu…”
“Apa salah kalo punya keinginan jadi kaya? Dian juga nggak mau kalah sama temen-temen Dian yang lain. Apalagi, sekarang Dian denger mereka ada yang gajinya udah gede banget..”
“Dian..kayaknya ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi materialistic kayak gini..” Ibu berujar dengan nada setengah kecewa.
“Dian Cuma pingin ngebahagiain Ibu..”
“Dengan cara seperti ini? Dalam setahun pindah kerja dua kali?”
“Dian ngambil minum dulu bu” Sengaja aku mencari alasan agar bisa menyusun argumen yang tepat.
“Di, jadi dosen itu panggilan. Kepuasannya tidak dihitung dari materi” Ibu melanjutkan omongannya. Air es ini begitu dingin. Gerahamku terasa sedikit ngilu.
“Itu Dian juga sudah tau, Bu!”
“Trus, apalagi masalahnya?”
“Masalahnya, dengan jadi dosen Dian nggak bakalan bisa cepet kaya!”
“Dian, ibu nggak pernah ngelarang kamu buat jadi kaya. Tapi ibu akan lebih senang kalo kamu jadi manusia yang kaya hati..”

**
Kaya hati? Dua kata itu seolah tak asing lagi di kupingku. Bahkan, di bibirku juga. Aku sering mengucapkannya. Bahkan, tak jarang aku memakainya sebagai saran bagi teman-temanku yang kebetulan datang membawa masalah. Lantas, kenapa sekarang aku melupakannya? Bukankah rejeki itu sudah ada yang ngatur?
**
“Selamat pagi, Saudara-saudara…Kita mulai kelas kita hari ini!”

Inspired by:
My old friend
“Finally, I follow your flow”

Dua Sisi

Dua Sisi
Kuawali semuanya dari putih, dari nol. Hidup wajar masa kanak-kanak yang begitu indah, seolah tanpa cacat. Bunda selalu berkata, ”Jadilah anak yang baik, berguna bagi bangsa, negara,dan agama. Jalankanlah hidup yang lurus-lurus saja, ’nggak usah neko-neko, ’ntar malah keblasak, kesasar! Kalau sudah begitu susah nyari jalan tembusnya!”. Saat itu aku terdiam, mataku setengah ngantuk sehingga nasihat itu berlalu begitu saja, bungentuwa, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Aku terlelap di atas pangkuan bunda.
“Pagi, Pierre!”
“Hi pagi juga, Mastral! Tumben hari ini kamu tidak telat?! What’s wrong?!”
“Ah kamu ini selalu saja sok perhatian dan senang ngurusin orang lain. Seharusnya kamu senang donk aku bisa mereform habit yang selama ini kamu gunakan untuk mengolokku di depan bos!”
Keduanya tertawa lalu kembali larut dalam kerja. Ruangan itu berukuran 4x6 meter, AC-nya tak begitu terasa, dipenuhi nuansa biru, tak begitu indah. Tapi di situlah kedua pria lajang itu selalu menghabiskan 10 dari 24 jam harinya dengan menongkrongi screen komputer beradiasi tinggi, bercanda dengan imajinasi, mengocok dan mengaduk-aduk isi kepala serta menggali sumur untuk mendapat sumber air yang menyelamatkan pikirannya dari kekeringan.
**
Aku tak tahu entah sejak kapan aku mulai tercebur dalam kubangan hitam ini. Demikian pula, bila kau bertanya mengapa aku tak pernah menitikkan air mata.
Lebih kurang sepuluh tahun silam mungkin terakhir kalinya aku menangis. Ketika aku kehilangan orang yang paling dekat denganku. Nyaiku. Setelah itu, kelenjar air mataku seolah mengalami suddenly disfunction bahkan ia tak keluar setetes pun ketika kepedihan menderaku.
Ya, ketika bapakku yang telah bertahun-tahun menghilang –aku tak ingin tahu ke mana ia raib- membacok ibu. Hanya gara-gara ia protes mengapa lelaki yang tak pantas menyandang predikat bapak itu tidur dengan perempuan anjing yang hampir setiap malam mangkal di perempatan jalan menjajakan payudara yang dilher begitu saja.
Sejak itulah aku membenci lelaki –pernahkah kau ingin mengutuknya? Mungkin kamu tak akan sanggup melakukannya. Apalagi saat libidomu naik, kau pasti menginginkan mereka menidurimu hingga kau tersedak sekarat dalam orgasme.
Tapi, tidakkah kau pernah berpikir untuk mengganti sekerat tulang rawan itu dengan mesin vibrator hingga kau pun tak lagi membutuhkan mereka? Biarlah kau menganggapku narsisistik, aku tak peduli!
Bahkan, kebencianku terhadap kaumnya Adam itu benar-benar mengklimaks ketika dengan terseok aku menyisir setiap ruas jalan mencari sesuatu untuk mengganjal perut yang sudah 36 jam tak terisi –bukankan aku hebat?. Gang itu begitu gelap. Tak ada lampu menerangi hanya temaram cahaya bulan dan sedikit bintang –mestinya aku bahagia saat itu- yang menyapu tiap sudut dinding yang dipenuhi umpatan dan gambar-gambar yang tidak nyeni sama sekali.
Di pojok tenggara dari gang sempit itu kulihat empat pemuda berpesta pora menenggak alkohol murahan, rambutnya ngepunk, pakaiannya ngepas di badan yang ceking dengan tindik bertebaran di mana-mana. Kuselonjorkan kaki yang serasa ingin patah, kudengar suara cacing dalam perutku yang mulai berdemonstrasi menuntut dikasih makan. Kucoba mengatubkan mata sambil membayangkan enaknya paha ayam bakar dan hangatnya nasi kebuli untuk mengusir laparku. Baru semenit yang lalu aku merasa kenyang lalu tertelelap, aku telah terbangunkan oleh suara ocehan orang-orang yang terdengar sangatlah mabuk, sakau mungkin. Perlahan kubuka mata lalu kukerjap-kerjapkan, kantukku pun seketika menghilang. Keempat pemuda yang semula berada cukup jauh kini telah berada pada jarak kurang dari setengah meter dari tubuhku. Mereka saling maki dengan umpatan-umpatan kotor, memutariku seolah berebutan. Tangan mereka mulai menjambak rambut kusutku. Tunggu, kulihat salah satu dari mereka mulai memplorotkan resleting jinsnya, kemudian….
**
Di sebuah kafe yang berlampu temaram terdengar alunan solo organ, entah lagu apa yang dimainkan. Tak ada seorang perempuan pun di sana. Manager, waiters, dan tamu-tamunya semua berjenis kelamin sama, lelaki! Di meja nomor tujuh di pojok sebelah kanan di bawah remang dan kerlipan mirror ball.
“Pierre, aku mencintaimu!”
“I love you too, Mastral!”
Keduanya saling meremas tangan masing-masig kemudian larut dalam lips kissing yang begitu dasyat. Tak ada yang protes, no prohibition, it’s their own world. Wajar, kafe itu memang kafenya orang-orang yang tidak mengharapkan perempuan. Perempuan adalah racun bagi mereka. Itu bukanlah tindakan aneh justru aneh bila lelaki dan perempuan melakukan ciuman di tempat seperti ini.
“No woman no cry!”
“That’s right. Wanita hanyalah poison bagi kita. Hanya berguna untuk mematikan, lain tidak!”
“Eit..you’re wrong. We still need ‘em to bear us!”
“Iya. Aku lupa. Itu satu-satunya kelebihan mereka. Bisa beranak!”
Keduanya tertawa lepas. Menikmati hidup. Bebas tanpa beban. Benar-benar a happy together world.
**
Aku merasa selangkanganku perih dan sakit. Kulihat darah yang belum benar-benar kering membasahi kakiku menyisakan noda kemerahan pada rok bawahanku yang sudah carut marut tak berbentuk dan bercak-bercak sperma yang muncrat ke mana-mana. Aku berusaha menemukan celana dalamku yang entah hilang terlempar ke mana. Aku meringis, berjalan dengan kaki terseret. Tak kuhiraukan lagi dinginnya malam yang menggerayangi setiap sisa keindahan tubuhku yang telah tercemar. Aku terlalu kuat dan tegar untuk mengalami psyco traumatic atau pun sensoric trauma yang sering dilontarkan dalam seminar-seminar psikologi yang membahas kondisi jiwa korban pascaperkosaan. Tapi aku tetap benci lelaki!
Entah siapa yang membaiat diriku utnuk menjalani profesiku yang sekarang, seorang pelacur kelas kuli dan sopir. Tidak membuatku sekaya para pejabat korup yang makan uang rakyat atau pun para aktivis yang sering berkoar-berkoar ingin memperjuangkan dan membela hak orang semacam aku tapi yang sebenarnya hanyalah menjadikan kami sebagai tameng untuk memupuk kekayaannya, tapi cukuplah uang yang kuperoleh dalam semalam setelah dikurangi jatah induk semang dan sejumlah pungli beberapa polisi kota untuk sekedar mengisi perut dan membeli bedak serta gincu seharga lima ribuan.
Haruskah aku menyalahkan Helen yang kerap di sapa tante oleh teman-temanku –kecuali diriku sebab aku terbiasa memanggil namanya saja. Dia seorang germo yang baik di mataku. Dia yang mengentasku dari jalanan gadis korban perkosaan kemudian mempermak diriku menjadi seorang kupu-kupu malam primadona di kompleks lokalisasi ini. Aku bisa mendapatkan duit dengan tidak harus keluar keringat terlalu banyak. Cukup menyediakan tubuhku menjadi santapan lelaki yang mengapa selalu tidak puas hanya dengan satu wanita. Dasar lelaki!!!
Kenalkan, ini Marie sahabat sekaligus kekasih. Maaf, aku tak bilang dari awal. Tapi jangan terkejut. Aku memang lesbian tapi sumpah aku tidak pernah melakukan hal itu. Mungkin inilah yang disebut platonist, sebuah kisah asmara tanpa terkontaminasi oleh orientasi seksual? Kurasa penjelasan pun tak dibutuhkan untuk menjawab mengapa aku begini. Mencintai tidaklah harus selalu beralasan, yang terpenting kebahagiaan. Itu saja. Titik.
1 Januari 1999. Happy new year. Hari keberuntungan sekaligus hari naasku. Seorang bule kelahiran negeri Ratu Elizabeth, Mc O’brien namanya. Dia membokingku sejuta untuk menemaninya tidur. Malam ini aku kaya, pikirku. Ia membawaku ke sebuah losmen kecil di pinggiran kota. Ia menyuruhku duduk di pinggir kasur lalu tanpa disuruh aku pun menanggalkan sackdress yang melekat di tubuhku. Dia menghampiriku. Melemparkan seutas tali yang dirigohnya dari celana. Kuikat tanganku di salah satu tiang ranjang sesuai perintahnya. Kupikir, inikah permainan gaya baru yang lagi in? Kulihat ia sudah bertelanjang dada. Ia kini sedang melolos sabuknya. Belum sempat aku berpikir mengapa lelaki bule ini tidak bertingkah seperti lelaki lain yang biasanya langsung buas melahapku, ia telah mencambukiku dengan ikat pinggang kulitnya. Sakit. Entah sudah cambukan yang ke berapa, aku tak merasakannya. Aku hanya diam seperti biasa. Pasif tanpa reaksi sebab aku memang tak tertarik untuk bersenggama dengan lelaki apalgi dengan cara seperti ini telah menambah kebencianku pada lelaki. Kulitku gosong membiru bahkan ada beberapa bagian yang mengelupas. Lelaki bule bangsat itu kulihat kelelahan. Kukira ia akan segera mengakhiri ini semua, ternyata tidak. Suddenly he put his trousers off then ate me! Fuck you! Bedebah. Keparat. Aku benci lelaki di dunia ini!!
**
Tujuh bulan kemudian di kafe yang sama serta di pojok yang sama pula. Pierre dan Mastral saling duduk diam berhadapan. Keduanya tertunduk. Tak ada kata yang terwakili. Aneh. Tak seperti biasanya. Jakun keduanya tampak turun naik seolah tengah bersiap mengucap sederet kata yang teramat sulit untuk terucap. “Aku ingin semuanya berakhir!”. Empat kata yang terangkum dalam satu kalimat itu mereka ucapkan secara bersamaan tanpa komando dengan intonasi seru –mengapa begitu sulit?
Empat puluh delapan jam, 20 menit kemudian. Tidak di kafe yang sama.
“Pierre, kenalkan ini Nathalie”
“Kenalkan juga. Ini Priscilia, gadis librarian yang kuceritakan padamu dua hari lalu”
Mereka saling bersalaman. Mengenalkan kekasih barunya. Apa yang merubah mereka? Tak ada. Hanya saja mereka telah mengakhiri kisahnya. Tak ada sequel baru, cukup sampai di situ. The end of the story.
Di hari yang sama, di sebuah bangsal rumah sakit.
Aku tergolek lemas tak berdaya, kulitku memucat, rambutku bertahap merontok, dan tubuhku mengurus. Tak ada yang tersisa dari diriku kecuali kebencian yang mendalam pada makhluk yang bernama lelaki.
Tiga bulan setelah malam itu. Aku sering merasa kehilangan tenaga, nafsu makanku hilang hingga penyakit mudah menjangkitiku, segera kupergi ke dokter. Aku tak ingin sakit sebab sakit bagiku kehilangan pendapatan, tak bisa makan! Dua hari kemudian dokter memberi hasil testnya, kau mungkin sudah bisa menduga apa hasilnya. Tepat, dugaanmu tak meleset. Aku terinfeksi penyakit itu. Penyakit yang sudah lazim menjangkiti orang-orang dengan profesi sepertiku. Aku tak terkejut, ini risiko yang harus kutanggung. Tapi bukan berarti dunia berhenti berputar. Aku masih butuh makan sebelum ajal benar-benar merenggut. Kubiarkan tubuhku tetap menjadi piala pila bergilir dari dekapan satu pria ke pria lainnya,dari losmen ke losmen dan akhirnya aku dapat menuntaskan sakit hati dan kebencianku. “Ha..ha.haa! lelaki tetaplah lekaki. Tak pernah bisa melihat kesempatan lewat begitu saja. Apalagi keindahan tubuh pelacur yang tergolek menantang di ranjang. Mereka tak pernah berpikir aku akan mengakhiri hidup dan mempercepat proses kematiannya!”
Marie manatapku iba. Dialah satu-satunya yang masih sudi menemaniku. Tak kubiarkan ia menangis lalu kukatakan padanya,”Aku tidak akan mati. Tangisan hanyalah untuk mereka yang kalah. Aku telah memenangkan pertarungan ini. Aku rela tuhan membakarku dalam api neraka karena Dia tak mengampuniku sebab aku tahu aku tak akan pernah memaafkan mereka,karena aku tau aku membenci lelaki!”.
Marie menatapku kembali, kali ini tidak dengan tatapan iba melainkan kebencian terpancar dari sepasang bola matanya,entah ditujukan pada siapa. Dengan membanting pintu ia berlari meninggalkan ruangan ini. Baru setelah itu kutersadar kebencian itu ia tujukan padaku. Aku lupa, Marie dulunya juga seorang lelaki.Tetapi, persetan dengan Marie!!!

Maduku

Maduku

Dalam kesendirian, aku mencoba mereka ulang raut wajahmu. Kupaksa otakku lebih aktif lagi bekerja. Tak kuedit tiap salah gores asaku tentangmu, meski sedikit, kesalahan itulah yang membuatku makin menggilaimu.
Detik ke sembilan dari menit ke sembilan belas lepas dari jam enam petang. Aku tersungkur bak onggokan sampah di atas pembaringan yang tak lagi kurasakan kenyamanan di sana. Pikirku menerawang. Menyusuri tiap gang sempit di mana kita pernah bergandengan menikmati hangatnya tiap gesekan kulit dan desiran darah yang tiba-tiba mengalir lebih cepat ketika pandangan saling beradu. Aku menatapmu. Kau pun menatapku. Tak ada suara. Seolah keheningan benar-benar menjadi ilustrasi yang tepat untuk adegan kita saat itu. Tapi aku tak tahan dengan kesenyapan ini. Perlahan kurengkuh kedua tanganmu. Kubiarkan kau merasakan debaran jantungku –aku tak tahu mengapa hari itu aku bergitu berani.
“Aku tak tahan harus selamanya begini!”
“Tidak selamanya”
“Tapi sampai kapan?”
“Biarkan waktu yang menjawab”
“Aku muak dengan jawaban itu. Waktu begitu lambat. Belum lagi, jawaban yang diberikannya seringkali membuat luka!”
“Jangan apriori!”
“Pasrah sepertimu? Tidak akan!”
“Tapi aku mencintaimu!”
“Kau memang egois. Di saat kau ingin bercinta. Kau baru ingat aku. Setelah puas, kau akan kembali memakai kedokmu. Berpura-pura menjadi suami yang baik dan bercengkrama bersama anak-anakmu yang lucu. Alangkah bahagianya?!”. Suaraku mulai tersendat. Aku ingin menangis tapi harga diri melarangku untuk meneteskan air mata di hadapannya. Tak ingin aku kelihatan mengemis cinta terhadapnya.
“Mengapa kau ingin merusak suasana indah ini dengan perdebatan tentang hal itu lagi?”
“Ah, sudahlah! Kau memang payah!”
Aku meninggalkannya. Ini bukan kali pertama hal semacam itu terjadi. Hampir bisa dipastikan, tiap akhir pekan, setelah makan siang, setelah check in di motel terdekat, kami akan berjalan-jalan mengitari taman ini. Setelah kecapekan, kami akan duduk di salah satu bangku atau berdiri saling mematung untuk kemudian memulai perdebatan yang akan mengakhiri kencan akhir pekan itu. Ya, aku sadar. Aku hanya orang ke tiga dalam rumah tangganya.
**
Sebulan sudah kami tidak bertemu. Dia yang selalu menghubungiku. Di kantor, rumah, ponsel, bahkan sampai menguntit ke mana aku pergi. Aku berusaha tidak menemuinya. Aku menghindarinya. Ah, tapi ternyata itu bakan hal yang gampang. Wajahnya selalu saja hadir di pelupuk mata saat aku sendiri. Aku mulai merindukannya. Aku haus belaian lembut tangannya di atas dinginnya kulitku. Aku ingin kembali merasakan hembusan nafasnya menerpa tengkukku untuk kemudian kami larut dalam atmosfir cinta yang semestinya tak boleh.
Aku melirik ponsel di sebelah kananku. Aku merindukannya. Aku butuh dia. Aku harus bertemu dia hari ini, pikurku. Kuraih ponsel itu. Kubuka menu message lalu kuketik : aku kangen. Bisa ketemu? Kutunggu di tempat biasa. Aku baca berulang-ulang kalimat itu. Aku ragu menekan tombol OK agar pesan itu terkirim. Kubaca sekali lagi, tak ada yang berubah. Kutarik nafas dalam-dalam lalu dengan mata terpejam kutekan tombol OK. Message sent. Tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Aku lega. Kembali akau terdiam. Termangu. Pikiranku menerawang lagi-lagi. Antara menyesal dan lega berbaur. Tapi, tidakkah aku terlalu berani? Mengemis cinta padanya?. Tiba-tiba hp-ku berteriak. Kulihat nama yang muncul pada LCD-nya. Andreas. Kubiarkan ringtone ponselku terus mengerang. Aku takut menerima telponnya meski aku sangat ingin mendengar suaranya. Akhirnya ringtone itu diam dengan sendirinya. Dia menutup telepon. Mengapa dia begitu mudah menyerah? Telpon aku sekali lagi, batinku. Hp-ku berdering sekali lagi. Nama yang sama muncul. Aku tak ragu lagi, kujawab telponnya.
“Halo”
“Diza. Kenapa tidak segera diangkat?”
“Aku lagi mandi,” aku berbohong.
“Jam segini mandi?”. Dia tahu aku sedang berbohong.
“Sudahlah tak penting kenapa. Bagaimana, bisa nggak?”
“Sorry besok aku ada janji sama Bayu pergi ke toko buku”. Dia menyebut nama anak pertamanya dengan Shinta, istri sahnya, rivalku.
“Ok, nggak pa-pa. Tapi aku akan tetap ke sana dan menunggumu. Kalau kamu tetap nggak datang anggap saja semua sudah berakhir. Selamat malam!”
Telpon kututup. Aku tak peduli apa yang dia pikir tentangku. Kupejamkan mata, mencoba untuk tidur. Akhirnya terlelap juga, lega rasanya…
**
Menit ke lima belas. Aku belum letih menunggu. Kusapu tiap celah alam di taman ini. Masih seperti beberapa waktu lalu, hanya saja kulihat mawar putih di paling ujung sana telah berkurang setangkai. Aku tersenyum. Kubuka organizer yang sedari tadi tergenggam di tanganku. Di dalamnya, di antara coretan-coretan agenda meeting dan amburaradulnya jadwal terselip mawar putih yang telah mengering. Kembali aku terdiam. Pandanganku tetap terfokus pada mawar kering itu. Ya, aku tak ingin melupakannya begitu saja. Dia yang kukenal tujuh tahun silam ketika masih sama-sama aktif dalam teater universitas lantas terpisah oleh kesibukan masing-masing untuk menggapai cita tapi kemudian dipertemukan kembali di kota ini. Dan perasaan yang terpendam tujuh tahun silam itu pun bersemi kembali. Namun, apa mau dikata, rupanya nasib tak berpihak padaku. Ia telah kawin dengan rekan sekerjanya, sementara aku masih saja sibuk berkarier hingga melupakan keinginan berumah tangga. Ah, aku memang bodoh,. Mengapa tak kuungkap cinta itu dulu?
“Bodoh!”
“Siapa yang bodoh, Diza?”
Aku terperanjat. Tanpa terdengar olehku, ia telah datang, duduk persis di sampingku.
“Aku yang bodoh!”
“Tak selayaknya seorang PR Manager bintang lima semacam dirimu berkata demikian”
“Aku wanita, And!”. Aku langsung emosi, ”Istrimu juga wanita. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya jika diriku adalah Shinta. Wanita yang teramat baik tapi bersuami tukang selingkuh macam engkau, Andreas!”
“Aku tak pernah ingin berselingkuh denganmu, Diza. Demikian pula Shinta. Dia tak pernah merasa kubohongi. Malah dia sendiri yang mempersiapkan bajuku untuk bertemu denganmu!”
“Itu karena tak kamu katakan kemana dan siapa yang akan kamu temui. Jangan pikir kau dapat membohongiku seperti yang kamu lakukan terhadap anak dan istrimu, Andreas!”
“Kau memang tetap tak berubah. Masih saja keras kepala!”
“Benar, Andreas. Aku memang keras kepala. Itulah yang membuatku merasa bodoh dan tolol. Mengapa aku harus mempunyai harapan untuk tetap hidup bersamamu. Mengapa aku harus rela menjadi wanita selingkuhanmu?” aku tak lagi dapat menahan tangis. “Aku capek selalu terkejar perasaan bersalah, berdosa karena merusak rumah tangga orang lain. Apalagi istrimu yang halus budi itu, ah, betapa terkutuknya aku, Andreas!”. Isakku semakin menjadi sampai-sampai aku tak sadar Andreas telah berdiri dengan sikap aneh. Tak kuduga, Shinta telah berada di antara kami.
“Mbak Diza nggak salah. Saya yang tidak tahu kalau dulu Mbak Diza dan Mas Andreas pernah saling mencinta. Mas Andreas cuma bilang kalau tujuh tahun silam ia punya sahabat dekat wanita. Dan saya baru tahu beberapa bulan lalu kalau kalian kembali bertemu dan berhubungan. Akan tetapi, Mbak Diza saya harap juga mengerti bahwa saya juga mencintai Mas Andreas demikian pula Mas Andreas, terbukti Bayu telah hadir di antara kami.” Shinta berkata dengan tenang dan datar di saat aku benar-banar kalap, tak mesti berbuat apa. ”Mabak Diza..,” Shinta berkata sambil merengkuh pundakku lalu ditatapnya mataku, ”Mbak benar-banar mencintai Mas Andreas?”. Kubalas tatapannya. Matanya bening meneduhkan. Dia benar-benar wanita, tidak seperti aku. “Mbak Diza, tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur,” Shinta memepertegas kalimatnya. Aku hanya terdiam. Menunduk seperti pesakitan. “Kalau memang kita berdua mencintai orang yang sama, mengapa kita tidak mengabdi sama-sama kepadanya?”
“Apa maksudmu, Shinta?”
“Saya yakin Mbak tahu apa maksud saya”
“Jangan bercanda, Shinta! Maksudmu, kita berdua menjadi istri Andreas, begitu?”
“Kurang lebih demikian. Saya rela dan ikhlas bila itu demi kebahagian Mas Andreas, anak saya dan Mbak Diza sendiri. Bagaimana, Mbak?”
“Kamu gila!”
“Saya tidak gila. Saya waras. Kalau saya gila tentulah saya akan membiarkan Mas Andreas dan Mbak Diza berzina setiap saat dan saya tak menginginkan hal itu. Keinginan saya adalah kebahagian kalian berdua selain tentunya keluarga saya tetap utuh”
Aku melihat ke arah Andreas. Dia tampak lebih tenang daripada beberapa menit lalu.
“Mbak tak usah bertanya pada Mas Andreas. Saya yakin dia setuju, betul khan, Mas?” Shinta bertanya pada Andreas tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. “Mbak lihat khan, Mas Andreas telah setuju, sekarang bagaimana dengan Mbak Diza sendiri?”. Aku terdiam lagi. “Ah, saya pikir kalian berdua butuh bicara. Saya pergi dulu, Mas!”. Shinta pun berlalu menyisakan sisa keteduhan dari kata-katanya. Aku dan Andreas tetap termangu. Dia. Larut dalam pikiran masing-masing. Ya?!