Thursday, April 3, 2008

Yoachim (1)

Yoachim
Aku berlari merapat padanya. Badan kami urung saling berpeluk seolah ada kekuatan tak tampak yang mendadak mencegahnya. Kekuatan yang muncul dari tubuh kami sendiri. Memancar ke luar, memborbadir segenap keharuan. Kekuatan dari rasa yang telah terkalahkan oleh rasio.
Mata kami bersirobok. Dalam. Oh, telaga itu masih ada, batinku. Mataku berkaca pada matanya. Kami benar-benar menafikan suara. Buat apa bersuara kalau tak ada yang mendengar?
**
Yoachim melangkahkan kakinya setahap demi setahap pada ruang di antara celah kursi-kursi gereja. Langkahnya memantulkan irama sepatu yang beradu dengan kerasnya marmer.
Gereja itu sepi. Sengaja ia memilih waktu seperti ini. Hari ini ia tidak akan berdoa. Lelahkah ia akan berdoa?
Yoachim mendekatkan diri pada bilik pengakuan. Ia duduk bersimpuh. Belum sempat kata-kata terlontar dari mulutnya, air mata telah meleleh mendahului. Satu per satu bayangan kehidupan berloncatan dalam benaknya. Beberapa lama, Yoachim larut dalam kebiruan hingga suara berat di balik bilik itu memudarkannya.
“Ada apa, Anakku? Kamu ke sini tidak sekedar untuk menangis, bukan?”
**
Yoachim dan aku tak sengaja saling dipertemukan. Kami berasal dari latar belakang yang sangat bertolak belakang. Semua perbedaan ada pada kami. Namun entah mengapa kami dipertemukan –bukan diperjodohkan?
Aku tahu Tuhan memberi segala sesuatu yang tampak bukan untuk dimaknai secara mentah. Aku terus mendengar dan membaca dunia. Dari sanalah aku bisa temukan hikmah. Aku atau siapa pun tak akan paham apa kehendak Tuhan dalam satu kali pikir.
Pertemuan kami benar-benar suatu kebetulan. Kebetulan-kebetulan yang terangkai menjadi kehidupan. Aku sedang mencari seorang pentakluk hati. Aku ingin merasakan betapa hebatnya badai seretonin . Aku juga ingin merasakan betapa irasionalnya sebuah perasaan. Lantas, kebetulan aku pun bertemu Yoachim. Ya, Yoachim…
Apa jadinya bila aku benar-benar menjadi…..? Tak tahulah, aku sedang candui rasa cinta yang menggelegak dalam jiwa. Tak mau pahami apa pun selain rasa itu sendiri. Rasa itu harus kuperjuang untuk dapatkannya, bukan hanya hayali atau pun kegilaan nubari.
Kemudian, semuanya bergulir lazimnya manusia sedang jatuh hati. Entah berapa kali kerinduan menyergap dalam hitungan detik. Cobalah dengar rintik hujan. Hitunglah berapa banyak tetesannya, sebanyak itulah aku merindukan dirinya .
Kemarin, aku mengira aku bahagia. Tawa selalu kusandang, kawan selalu datang. Ternyata, aku sendirian. Sepi. Lalu, hadirlah dia warnai isi hati, usir senyap dan keangkuhanku pada cinta. Mata kami selalu bicara, bercerita tentang keindahan.
Senjaku tak pernah datang tepat waktu. Ia selalu saja kemalaman. Senja itu tak datang sendiri. Ia datang bersama dingin badai salju yang pekat akan aromanya. Aku takut pada diriku yang tak kuasa untuk tahan gelora. Setiap pesan terkirim terjalin menjadi jalanan cinta. Begitu indah jalinan itu. Tanpa beban. Aku kian cinta tapi aku juga kian jera. Jera ketika kami lupa pada siapa kami.
Tahukah apa yang kurasa? Aku bahagia meski tak sempurna. Ada sejengkal ketakutan bilakah ini berakhir. Yoachim, aku menikmati tiap detik bersamamu. Aku takut akan kehilangan. Aku mencintaimu. Yoachim, tetaplah bersamaku. Tuhan, adakah yang tahu kusedang jujur?
Aku terlahir sebagai raga yang mungkin tak pernah dinginkan oleh Yoachim tapi beartikah itu bahwa kita tak mungkin bersama? Bersama atas nama sebuah ikatan kasih meski dunia tak merestui? Apakah persamaan di antara kita akan menjadi pemisah?
Sungguh, aku tak bermaksud meratapi semua ini. Aku begitu menikmati setiap saat bersamanya sedemikian pula aku begitu terlena saat ia jauh. Benar, aku memikirkan, merindunya sepanjang waktu.
Aku ingin bisa mengontrol rasaku yang tak biasa, tapi tak bisa! Semua seolah lepas kendali dan lepas landas menujunya. Semua hal yang telah tersusun porak poranda hanya karena aku terdiam dengan tatapan menerawang semua pikir untuknya. Sebegitu berhargakah Yoachim hingga aku begitu menggilainya?
Splash…!. Semua berakhir. Aku meledak dalam gelora. Hari ini Yoachim pergi membawa hatiku. Matanya melepasku tak rela meski tetap dalam gurat ketakacuhan. Inikah awal bencana?
**
“Bapa, anakmu berdosa!”
Yoachim, dosa adalah urusan manusia dengan Tuhan. Manusia tak berhak melakukan justifikasi, asal kamu tahu itu!
Di balik sekat pemisah, pria yang dipanggil Bapa itu menghela nafas. Terdengar jelas di kuping Yoachim. Lantas, sederet kata-kata berjiwa pun meluncur darinya.
“Anakku, apa yang bisa kuterakan di atas lembar-lembar jalanmu? Toh, semua aksara telah termaktub dan kau pun telah pahami. Mungkin hanya secuil cermin yang bisa kuhadapkan untuk kau bisa berkaca pada mata”
“Tapi Bapa, haruskah semua rasa itu juga harus saya bunuh?”
“Bapa tak pernah mengajarkan membunuh rasa. Semua berakhir dengan doa dan kepasrahan pada Tuhan –itukah satu-satunya cara?- Percayalah Anakku, Tuhan bicara pada kita tiap detik..”
“Lantas Bapa, apa yang mesti saya perbuat? Saya tidak tahu, Bapa….,”Yoachim kembali menangis –Yoachim, buang air matamu sepuasmu sebab setelah ini air matakulah yang bakal kau saksikan…
“Temui dia, Anakku..”
“Aku menemuinya?”
Aku takut akan pertemuan kembali sebagaimana kutakut pada berpisah. Kenapa kita dipertemukan bila tidak dipertautkan? Ingin aku berkata, aku menyesal pertama kali untuk bertemu denganmu. Kenapa harus aku dan kenapa harus kamu? Mengapa bukan kita?
“Ya. Katakan padanya..”
“Semua perasaan saya?” potong Yoachim.
“Pergilah. Kamu sudah tahu jawabnya, Anakku!” Bapa pun kemudian terdiam. Yoachim tahu itu pertanda pengakuan ini telah berujung.
“Terima kasih, Bapa!” Kalimat itu diucapkannya datar. Yoachim pun beranjak dari bersimpuhnya. Ia melangkah kembali menyusuri ruang di antara puluhan kursi gereja yang sepi itu. Hari ini tak ada misa. Sekarang, yang ada hanya rasa. Rasa yang harus dibawa terbang.
**
Aku berlari merapat padanya. Badan kami urung saling berpeluk seolah ada kekuatan tak tampak yang mendadak mencegahnya. Kekuatan yang muncul dari tubuh kami sendiri. Memancar ke luar, memborbadir segenap keharuan. Kekuatan dari rasa yang telah terkalahkan oleh rasio.
Mata kami bersirobok. Dalam. Oh, telaga itu masih ada, batinku. Mataku berkaca pada matanya. Kami benar-benar menafikan suara. Buat apa bersuara kalau tak ada yang mendengar?
“Mengapa harus ada rasa..”
“Antara kita?”
“Tapi..” kami kebetulan –lagi?- mengucapkannya bersamaan. Apa jadinya bila aku benar-benar menjadi…?
“Aku tidak tahu harus berkata,” Yoachim berucap dengan kepahitan tertelan.
“Aku sudah tahu apa yang akan kudengar” aku berucap setegar lilin dalam badai yang sedemikian dasyat.
“Aku telah memutuskan ..”
“Bahwa akan kamu pilih jalan itu?”
“Ya. Mungkin begitu”
“Frather? Yoachim?! Oh..,” aku mendesah. Kutelan berulang kali ludah. Kaca-kaca di mataku mulai meretak. Sebentar lagi pecah kemudian tumpahlah bah dari sana. Aku menangis.
“Jangan menangis. Aku tak kuasa melihatmu..”. Sudah kubilang, kamu akan melihat air mataku, Yo!
“Menangis? Aku tidak sedang menangis, Yo!”
Selama ini, kejujuranku adalah kebohongan tapi kebohongan bukanlah jujurku. Lantas, apa yang tengah kulakoni? Episode apa lagi yang akan datang? Aku jengah dengan episode percintaan. Hatiku terlalu angkuh untuk itu. Aku ingin bisa setia mencinta. Namun, selalu rasa kubunuh. Aku lelah berdusta. Oh, mata hati…
“Venus, aku..”
“Ada rasa terhadapmu…,” kusela kalimatnya. Yoachim tak bersuara. Hanya matanya yang bicara. Anggukan kecil begitu menonjol dalam geraknya yang tak pasti. “Selamat datang kembali ke realita, Yo!”
“Venus..”
Rasa hanyalah rasa. Sekedar ada. Kapanpun bisa terbunuh atau dibunuh. Yoachim, palu keputusan telah dijatuhkan. Terkadang, kita diharuskan menjatuhkan pilihan yang tidak menguntungkan. Namun, percayalah rasa adalah rasa yang selalu ada. Kau pilih jalanmu dan aku pakai caraku : membunuh rasa!
Jika kau telah tetapkan satu pilihan, rengkuh dan abadikanlah dalam hidup sebab tak setiap saat dan setiap masa pelangi akan menampakkan diri menggaris langit menjanjikan saat senja menyapa. Kemudian, dalam hidupmu pun bisa kau catatkan lagi sebuah kisah yang tak akan pernah selesai : tentang kesunyian, tentang kesendirian…
“Yoachim, selamat tinggal..”

Pati, 11/11/04
Kepada Yoachim: ajari aku melupakan dengan cintamu.

No comments: