Thursday, April 3, 2008

Saya dan Bella

Saya dan Bella

Di sini saya tidak akan berkisah tentang Puspa ataupun Leony yang keturunan Tionghoa*. Saya, di sini, hanya akan bertutur tentang seorang Bella. B.E.L.L.A. Bella. Titik. Tanpa -tung, -kang, -lang, -jar, -atau pun -lai. Hanya Bella. Tanpa nama lengkap atau pun nama belakang. Cukup Bella.
Dia seorang wanita. Bukan seperti wanita biasa. Wanita panggilan, demikian mereka menyebutnya. Benar, Bella seorang pelacur. Dia menjual tubuhnya. Memamerkan buah dada dan mengumbar undangan bagi lelaki yang ingin mencicipi kehangatan. Bella benar-benar seorang wanita pelacur. Bahkan, ia mungkin terlahirkan memang untuk menjadi perempuan tuna susila. Jiwanya adalah jiwa seorang pelacur.
“Tidak cuma aku. Semua orang adalah pelacur,” kilahnya suatu saat.
Bella sedang menyusun apologi. Dia tak rela justifikasi negatif itu hanya dilekatkan pada diri dan kawan-kawan seprofesinya. “Kamu adalah juga pelacur. Bukan pelacur yang menjual tubuh dan mengobral vagina. Kamu adalah pelacur waktu, pelacur ilmu, bahkan seringkali kamu juga melacurkan kehormatan,” katanya waktu itu. “Kamu punya lahan sendiri untuk kamu lacurkan dan, sebagaimana kamu tahu, aku adalah pelacur tubuh,” tambahnya.
Tunggu. Apa benar Bella wanita?
Bella bukan wanita. Bella bukan wanita. Bella bukan wanita.
Bella banci. Bella wadam. Bella waria. Bella tak terdefinisikan kelaminnya.
Bella banci. Bella wadam. Bella waria. Bella tak terdefinisikan kelaminnya.
Bella memang bukan perempuan. Keperempuannya sekarang hanyalah plastik. Tidak orisinal. Benar, dia wanita palsu.
“Saya memang palsu tapi hati saya wanita tanpa ragu”. Demikian Bella selalu berkata kepada saya.
Saya mengenal Bella seperti saya kenal dengan setiap lekuk tubuh ini. Bella selalu berkisah tentang dirinya kepada saya. Saya tahu bagaimana rasanya menjadi Bella. Bella senang akan hal itu.
Saya kenal Bella 21 tahun silam saat pertama kali kuliah. Dia sosok yang menarik bagi saya. Entah bagaimana semua dimulai sehingga sekarang kami begitu dekat. Bahkan boleh dibilang, Bella dan saya adalah satu. Bermula dari kedekatan itulah saya tahu bagaimana seorang Bella sebenarnya. Malahan, saya tahu kepada siapa dan bagaimana Bella pertama kali jatuh cinta.
Saat itu umur Bella 15 tahun. Benar, Bella jatuh cinta. kepada seorang lelaki. Bella bingung dan tak ingin menjadi seperti itu. Aneh, pikir saya. Tapi, Bella menikmati saat-saat itu. Tak ada yang ingin dirubahnya sedikitpun.
“Aku sangat mencintainya meski kutahu dia sama sekali tak menaruh rasa terhadapku. Aku nikmati semuanya. Aku selalu menuruti arus tanpa tahu dan peduli ke mana ia akan menghanyutkanku. Tapi, lagi-lagi aku menikmati..,” demikian urainya kepadaku.
Sayang, sebagaimana lazimnya sebuah kasih cinta aneh dan ganjil semacam itu, sudah dapat diprediksi bagaimana akhir ceritanya.
“Kami berpisah. Dalam kebisuan. Tanpa kata. Tanpa jalinan cerita. Hanya mata yang berkata. Mata yang tiba-tiba basah. Mata-mata yang berubah sayu seolah hendak mencegah dia agar tak menjauh. Mata yang tiba-tiba harus mejadi sok tegar ketika semuanya harus berakhir tanpa kata. Tapi, lagi-lagi aku menikmati..,” Bella tersenyum berkata demikian. Senyum yang sok tegar namun senyum yang paling manis. Hanya untukku. Saat itu.
Bella memang selalu menikmati segalanya. Tapi, kutahu, ia sama sekali tak menikmati menjadi lelaki. “Saya memotongkan penis saya ke dokter. Bukan sunat tapi benar-benar saya potongkan sampai pangkal. Kemudian, saya memesan untuk dibuatkan vagina dan menyuntikkan silikon ke dada saya. Saya pun menjadi wanita,” tegasnya.
Mau tahu apa yang Bella rasakan setelah bermetamorfosis menjadi wanita?
Dia bahagia, itu yang selalu di katakannya -saat itu. Dia mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Penampilan dan tubuh yang hampir sempurna. Puluhan pria mengejar-mengejar dan bermimpi untuk dapat tidur dengannya. Entah sudah berapa pria yang telah menemaninya, saya lupa kapan terakhir kali dia cerita tentang pria yang terakhir menidurinya. Saya benar-benar tak ingat.
Bella telah mejadi piala bergilir. Bella telah sah menjadi pelacur. Bella memang selalu menikmati segalanya -kecuali menjadi lelaki- sampai suatu hari melalui pembicaraan di telepon dia bercerita seperti biasanya.
“Saya capek dan lelah menjadi perempuan”
“Bukankah dulu kamu ingin?”
“Saya benci menjadi cantik”
“Dulu kamu mengejarnya, Bella”
“Mereka tak pernah menginginkan saya. Mereka tak pernah cinta. Mereka hanya ingin tidur dengan saya. Mereka hanya mempunyai nafsu”
“Lantas, apa yang kamu ingin Bella? Menjadi lelaki kembali? Tidak mungkin, Bodoh!,” saya meledeknya setengah bercanda.
“Saya ingin menjadi seperti kamu, Dira!”
Saya tertawa mendengar kalimat Bella barusan. “Apa tidak salah? Kamu ingin menjadi seperti aku? Jangan sentimentil seperti ini. Kamu hanya perlu istirahat. Istirahatlah..!”
“Tidak. Saya benar-banar ingin menjadi seperti kamu!”
“Menjadi perempuan yang pura-pura hidup melajang untuk menutupi bahwa dirinya lesbian? Seperti itu yang kamu mau?”
“Mungkin. Kamu perempuan dan kamu lesbian. Saya mungkin telah jatuh cinta sama kamu, Dira”
“Bella, saya memang lesbian tapi saya tidak pernah bercinta dengan wanita mantan lelaki!”. Saya mulai geram dengan ucapan-ucapan Bella yang tak karuan. “Bella, jangan hubungi saya lagi. Kamu gila!”
Klek. Telepon saya tutup. Selanjutnya, Bella benar-benar tidak menghubungi saya lagi. Saya sempat merasa bersalah karena telah tidak menghargai perasaannya. Sempat pula saya bermaksud menemuinya. Namun, niat itu saya urungkan sebab sebelum itu saya telah muak terlebih dahulu dengan isi pesan pendeknya yang masih saya terima seperti kemarin : dia mencintai saya. Kemudian, kami memang tidak dipertemukan lagi. Beberapa tahun setelah itu, saya pergi ke Amsterdam untuk melanjutkan studi dan Bella, entah, saya tidak tahu bagaimana keadaannya kemudian.

Sepuluh tahun kemudian, sekarang.
Saya kembali ke Indonesia. Masih seperti dulu. Dengan potongan rambut cepak dan kacamata silindris hanya saja saya merasa sedikit lebih gemuk. Oh ya, saya masih pula menempati rumah yang sama.
Hari ini saya bermaksud membersihkan kamar kerja setelah dua hari sebelumnya dapur dan ruang tamu saya sulap menjadi kinclong. Pembersihan saya mulai dari membereskan buku-buku yang masih ada di atas meja kemudian memindahkannya ke atas lemari. Saya lap kaca yang melapisi meja kerja kusam itu. Fiuhhh.., bersih! Kemudian, saya beranjak membuka laci bermaksud membersihkan dalamnya. Tak sengaja, mata saya tertuju pada satu amplop yang tampak seperti sebuah surat yang belum sempat terbaca. Perlahan saya raih amplop itu kemudian membuka dan mengeluarkan isinya.

Semarang 11 Juni 1994
To:
Dira
Surat ini dikirim untuk saya sepuluh tahun lalu. Kok bisa saya lupa untuk membacanya, batin saya.

Dear,Dira.
Langsung saja, cuma mau bilang bahwa saya tahu kamu tidak pernah mencintai aku sebagaimana aku tahu bagaimana aku sangat mencintai kamu.

Saya langsung tahu siapa penulis surat ini dari cara pemilihan kata-katanya. Segera saya ingin mengakhiri membaca surat itu tapi saya urungkan. Saya-masih saja- ingin tahu bagaimana keadaannya saat itu?

Aku tidak akan menulis banyak sebab aku memang tak pandai berkata-kata seperti kamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa tiba-tiba saya menjadi lelaki saat berada di dekatmu. Aku tahu kamu tidak pernah menginginkan lelaki tapi bukankah tampak jelas bahwa aku sosok perempuan?
Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkap ini. Aku pun tak bisa bilang bahwa aku mencintaimu sebagai lelaki -mantan- atau bagaimana?
Aku tidak tahu harus diberi nama apa rasa ini. Mungkin tak harus diberi nama. Ah, saya jadi bingung.
Tapi,Dira percayalah..

Saya tak lagi tertarik meneruskan membaca sebab saya tahu apa akhir dari surat itu. Saya -masih seperti kemarin- tetap muak kepada lelaki, meski, mantan lelaki. Saya bergegas menuju pintu utama setelah tiga kali saya dengar bel rumah berteriak. Saya buka pintu. Kemudian..
Saya terdiam.
Melihat siapa yang datang.


*FTv : Jangan Panggil Aku Cina! Dan Panggil Aku Puspa

No comments: