Thursday, April 3, 2008

Anjing

Anjing
Aku berusaha mencari anjing yang biasa berak di kepalaku mengotori tiap celah otakku. Ah, mengapa akhir-akhir ini anjing itu tak lagi datang untuk sekedar menyalak sekali dua kali kemudian berak? Ke mana gerangan anjing itu?
Malam ini langit gelap. Dingin angin bertiup menggoyangkan tirai bambu di samping jendela kamarku. Sepi. Tak ada manusia yang biasanya bicara ngalor-ngidul sambil sesekali terbahak. Tawai derai itu malam ini benar-benar tak terdengar. Ya, hujan seharian rupanya membuat manusia-manusia itu memilih diam. Berlindung di balik selimut sambil memeluk guling erat. Ya, mereka kebanyakan masih lajang. Kalau tidak maka istri mereka tinggal jauh dari tempat ini, negeri perantauannya.
Lagi-lagi aku teringat anjing itu. Malam ini aku ingin ia berak di kepalaku seperti biasanya. Tapi sia-sia. Ia tak kunjung datang. Bahkan, hingga kantuk mulai menghardikku. Ahh..penat bercampur pegel bersarang di tubuh tipisku. Kurebahkan badan dan beberapa tak lama aku pun pulas.
Tiba-tiba dalam tidur kulihat anjing itu. Namun, kali ini ia tak datang dengan wujud anjing –entah bagaimana aku tahu bahwa itu anjing yang kucari. Tapi aku yakin itu dia. Sesaat kulihat ia muncul sebagai sosok bersayap putih seperti malaikat yang sering menuntunku waktu kecil tatkala aku takut gelap. Akan tetapi, sekejap kemudian kulihat dia berubah jadi menyeramkan. Dia berubah menjadi iblis bertanduk dan berwajah merah. Aneh, wajah seram itu malah tidak membuatku takut.
Aku mendekati penampakan anjing yang biasa berak di kepalaku itu. Kuelus kepalanya. Kubisikkan setiap kata secara perlahan agar dia tenang. Benar, aku tak takut sedikit pun pada wajah seram itu. Malah, sepertinya semakin kudekat dengannya aku semakin merasa aman. Terlindungi. Bahkan, aku ingin bercengkerama, bercumbu, dan bercinta dengannya.
Aneh. Aku semakin berani mengelus wajah seram itu. Aku terus mengelus dan mengelus hingga akhirnya elusan-elusan itu menenangkannya. Dia menjadi kalem. Menurut. Bahkan, ketika kuhadapkan wajahnya ke arahku ia manut begitu saja. Jadilah wajah kami saling berdekatan dengan jarak kurang dari dua senti. Mata kami bersitatap lekat. Wajah kami kian dekat. Kemudian, semua berakhir tanpa sekat. Benar, aku dan anjing yang biasa berak di kepalaku itu berciuman. Kunikmati tiap pagutan bersamanya. Kelenjar ludah kami benar-benar telah bercampur dalam ciuman yang benar-benar dasyat. Ciuman yang benar-benar hebat.
Dan...
Tiba-tiba..
Kemudian..
Wajah seram itu berubah menjadi dia. Seketika semuanya membuatku ternganga. Heran, mengapa anjing itu menjadi dia?
**
Dia. Lelaki. Aku. Lelaki. Dia. Aku. Dia dan aku. Dia atau aku. Mengapa dia dan aku? Mengapa aku? Mengapa dia? Mengapa dia atau aku? Atau... Dia... Aku... Dan..
Lelaki itu bernama Angga. Lelaki itu bernama Krisna. Angga adalah lelaki. Krisna juga. Hanya saja, Angga mampu membuat Krisna menjadi perempuan dan melupakan bahwa dia adalah lelaki. Krisna juga. Dialah yang mampu menjadikan Angga menjadi lelaki. Mengayomi, melindungi, dan ingin dibutuhkan. Angga adalah dia. Krisna adalah aku. Angga dan Krisna adalah kami. Benar, kami dulu adalah sepasang kekasih. Dulu? Ya, sebab sekarang kami telah berakhir.
Semenjak dia tak lagi menghargai bahwa aku telah menjadi wanita. Semenjak dia tak lagi menghargai ketika payudara telah melekat pada dadaku. Semenjak dia tak dapat lagi menghisap tubuhku. Semenjak penisku telah menjadi vagina. Benar, semenjak aku telah merasa dan sangat ingin menjadi perempuan demi dirinya.
Benar. Angga mendepakku saat aku benar-benar ingin membuatnya bahagia. Aku menjadi perempuan kemudian dia meninggalkanku.
Bersamaan dengan perginya Angga, anjing yang biasa berak di kepalaku itu pun tak pernah lagi datang. Hingga malam itu. Malam di mana anjing itu berubah menjadi Angga. Angga yang dulu kekasihku. Apakah makna semua ini?
**
Anjing itu menjadi Angga ataukah Angga yang terlihat di mataku dengan wujud yang berubah-ubah? Malaikat, setan jahat, lantas anjing? Aku tak peduli. Segera kuhempas tubuh Angga yang masih tampak setengah anjing di mataku. Oh, benarkah Angga siluman anjing atau mataku yang telah tidak waras?
“Krisna, akulah anjing yang selalu berak di kepalamu.”
“Anjing.”
“Akulah yang selalu kamu rindukan”
“Anjing?”
“Aku yang selama ini selalu menidurimu.”
“Anjing!”
“Anjing?”
“Anjing yang telah meninggalkanku karena aku menjadi perempuan?”
“Anjing?!”
“Anjing yang telah mengakhiri sebuah komitmen hanya karena sebuah kelamin”
“Anjing.”
“Benar. Kamu anjing, Angga!”
Angga mengelepar-gelepar setelah itu. Tubuhnya masih tetap berwujud setengah anjing. Angga terus berteriak. Meraung dan ia pun tak sadar ketika suaranya mulai berubah menjadi gonggongan seiring dengan bibirnya yang telah berubah menjadi moncong dan hidungnya yang otomatis menjadi hidung anjing.
“Kamu memang anjing,Angga!”

No comments: