Thursday, April 3, 2008

Di Pojok Taman Bekas Kebun Binatang

Di Pojok Taman Bekas Kebun Binatang
Malam masih sedemikian pekat. Detakan jam dinding itu bagai langkah-langkah yang siap menggiringku menuju kesepian tak bertepi. Aku terjaga, sedari tadi. Hingga pagi terjelang.
***
Aku tersudut di taman ini. Sendiri. Dedaunan beringin jatuh perlahan tak berdaya menahan desahan angin. Kunikmati tiap bunyi kresek dedaunan kering yang beradu gesek dengan seretan langkah yang diganduli keraguan. Angin menampar wajahku sedikit membuat wajah pucatku terpoles setitik hangat mentari pagi ini. Embun mengapa engkau berlalu? Tidakkah kau ingin mentari menyebadanimu?
Aku terpatut pada air kolam di hadapku. Tak kutangkap bayanganku dipantulkannya. Kulihat hanya beberapa ekor serangga yang sibuk mempertahankan hidupnya yang di ujung tanduk –salah siapa kau harus jatuh ke kolam itu?
Air kolam itu tak jernih. Hijau. Tertutup dedaunan yang jatuh kemambang di permukaannya. Kuambil sebongkah batu. Kulempar. Blung. Batu itu tenggelam. Dedaunan pun tersibak. Kunikmati air kolam itu. Jernih. Tapi, aku tak terima. Kulempar sebongkah batu, kali ini lebih besar. Blung. Batu itu lagi-lagi tenggelam. Tapi, mengapa lagi-lagi air kolam itu tak mengeruh? Ayo mengeruhlah! Biarkan kekeruhanmu memvisualkan keruhnya benakku! Ayo, mengeruhlah! Bangsat! Mengapa kau terdiam?
“Selamat pagi, Dizza!”
Bayanganmu tiba-tiba menyeruak dari dasar kolam yang barusan kuumpat. Sedang apa dirimu di situ? Aku membatin. Melongo. Hanya menatapmu. “Mengapa tak kau jawab salamku,Dizza?” Aku tetap diam. Mataku terasa panas karena lama menatapmu. Aku kerjap-kerjapkan mataku agar kembali normal. Seluas senyum kau lempar padaku “Tidakkah kau merindukanku?”. Kupalingkan muka dirimu. Kalimatmu barusan laksana badai menghantam. Semestinya kau tak bertanya. Tidakkah mataku telah bicara? Aku tak ingin semuanya diverbalkan lewat bahasa bibir, aku takut perasaan terdalmku akan luntur! Tapi, mengapa kau masih bertanya? “Cinta….?!”
“Tidak! Jangan panggil aku cinta. Panggil aku iblis. Aku membencimu. Aku tidak pernah mencintaimu!”. Peluh membasahiku. Kata-kataku terbata. Tenggorokanku memanas. Bahasa tubuhku mengisyaratkan emosi tak beraturan. Aku kembali mengingkari nurani. Kembali aku menuruti ego. Aku malu mengaku cinta padamu. Aku takut kalah. Aku tak ingin kau menang. Aku khawatir kau akan besar kepala kemudian menganggapku sebagai koloni yang berhasil tertaklukkan. Tidak, tidak, aku tidak akan pernah mencintaimu. Ah, tapi aku mencintaimu. Bagaimana ini? Ah, keparat! Kau kemabali meracuniku dengan kegamangan. “Pergilah, aku tak ingin kau hadir di sini!!”. Aku kembali mengumpatmu, kembali kutangisi egoku.
“Cinta, kau tetap tak berubah. Baik, aku pergi. Berteriak dan panggillah namaku bila kau telah berubah pikir. Selamat pagi!”. Kau balikkan badan, pasti melangkah meninggalkanku. Aku begitu benci dengan diriku, mengapa aku begitu angkuh?
“Tunggu,,!”
Teriakkanku menahan langkahmu. Kau putar badan, kembali menghadapku. Seluas senyum kau simpul. Ah, senyummu begitu manis meski terkadang kerap membuatku sakit. ”Tidak. Aku membencimu. Pergilah!”. Mengapa aku mengatakan itu? Semestinya kukatakan: “Jangan, jangan pergi. Ucapkan bahwa kau mencintaiku, sekali lagi!.” Kau kembali melangkah. Tak ada semburat kecewa di dirimu. Seolah kau begitu yakin kalau aku akan kembali memanggilmu. “Tunggu, jangan tinggalkan aku!” teriakanku kembali menahanmu. Kau tak segera berbalik ke arahku. Seolah kau sedang menanti kelanjutan kata-kataku barusan. Aku bingung. Lama aku terdiam, tak mengerti apa yang harus kukatakan. Kupukul-pukul kepalaku, berharap satu gagasan muncul dari sana. Tapi tak ada. Aku semakin panik. Tengkukku memanas. Jangan, jangan pergi! Ingin sekali kuucapkan kalimat itu lagi saat kau beranjak hendak mengayun langkah, “Tunggu!”. Kini teriakkanku benar-benar tak lagi dapat mencegahmu. Aku tergagap. “Ya..ya… aku mencintaimu,Asmara!”. Kauhentikan langkah, berbalik ke arahku untuk ke sekian kali. Kau ulurkan kedua tanganmu, aku menghambur ke arahmu, berusaha memelukmu, memebenamkan wajahku di dadamu, hingga tiap denyut jantungmu menggetarkan membran kupingku. Secepat mungkin kuberlari menggapaimu, berlari, berlari dan berlari hingga dirimu pun begitu dekat denganku. Tapi, tatkala aku ingin merengkuhmu…
”Tidak……..”. Teriakkanku mencuri fokus orang-orang yang berada di taman ini. Mereka aneh memandangku. Engkau hanyalah ilusi, kau tak ada di sini. Kau jauh di antah berantah. Aku terinroyeksi olehmu. Tapi, mengapa, kurasa, ini begitu nyata? Benarkah kau pasangan jiwaku yang sesaat lagi menyapa?
Kupahatkan kata per kata pada kertas tak bergaris ini
Kusedang menanti
Entah siapa
Kubiarkan waktu berlari
Toh, ia akan membawamu kemari

“Pagi, Dizza! Sudah lama nunggu ya?”
“Siang tepatnya! Relatif. Kondisional. Kita janjian jam tujuh. Sekarang hampir jam sembilan. Dua jam aku di sini. Jika dalam hitungan dua kali enam puluh menit itu dianggap lama untuk menunggu kedatangan seseorang maka akan kujawab aku telah lama menunggumu. Tapi bila waktu hanya dianggap sebagai deretan angka yang berlari, itu berarti aku baru sebentar menunggumu!”.
Wajahnya tetap cuek. Seolah tak ada salah. Namanya Ciptaranggeni. Aku biasa memanggilnya Cipta saja. Kukenal dia dua tahun silam, entah bermula dari mana awalnya, aku lupa. Kulihat ia mengambil sesuatu dari dalam tas dagadu leceknya yang entah telah berapa lama tak tersentuh detergen. Aku pura-pura tak melihatnya.
“Ini untukmu,Dizza!”. Disodorkannya setangkai mawar putih padaku.
“Tidak usah sok romantis. Aku tak suka. Jadi, hanya untuk hal semacam ini kau membuatku jamuran di sini? Lagian aku tak ingin ucapan cinta lewat bunga, tapi ucapkan cinta dengan berani,Bung!!”. Kuakhiri kalimatku dengan gelak tertawa, tapi aku terdiam segera ketika kulirik ia tak bergeming menatapku. Tak seperti biasanya makhluk ini begitu serius.
“Aku serius, aku mencintaimu Dizza!”
Akting apalagi ini, pikirku. Aku terdiam. Kutatap matanya dalam. Kutelusuri tiap lekuk korneanya. Aku kikuk. Tak mungkin. Mengapa pandangan itu hari ini lain, tidak seperti biasanya?
“Aku mencintaimu,Dizza!”
Lagi-lagi aku terdiam. Bibirku beku. Aku berlalu tak menghiraukannya. Tapi sebelum benar aku meninggalkannya di pojok taman bekas kebun binatang ini, aku sempat berbisik padanya. “Aku ragu. Benarkah dirimu belahan jiwa yang baru saja kulamunkan sewaktu menunggumu? Maaf. Tapi biarlah waktu yang bicara. Akankah esok, lusa, minggu depan, atau kapan pun saatnya kita dipertautkan dalam cinta. Terima kasih mawar putihnya, meski tak suka, tapi aku bahagia mencium aroma tas bututmu yang menempel padanya!”

No comments: