Thursday, April 3, 2008

Dia

Dia
Mencoba untuk pejamkan kedua mata. Tak bisa. Hanya tenggorokan terasa kering. Haus. Sialan, stok air habis, umpatku. Mencoba ‘tuk dapat kembali terlelap. Tetap tak bisa. Malah teringat “dia”. “Dia” yang kemarin mengirimiku pesan bertulis: “ada apa say? Untuk kali ini aku tak bisa telepon atau pun ngebales. Jadi, kamu SMS saja. Ada apa tho?.” Tak segera kubalas pesan pendek yang dikirim bukan dengan nomor hp-nya sendiri itu. Kupikir, SMS itu biasa, tak ada yang salah. Namun, ternyata tidak. Pikiranku nglantur. Dan, pesan itu pun berubah menjadi : “Cinta, ‘met bobo ya! Aku sayang kamu.”
Gila. Hentikan. Aku tak ingin jatuh cinta –lagi?
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**
“Dia”. Lelaki yang berhasil mencuri hatiku sekarang ini kukenal dua tahun silam. Mestinya aku tak boleh mencintainnya. Mengapa? Karena sebuah alasan yang sudah teramat gamblang: “dia” tak pernah mencintaiku, kata mereka. Bahkan, “dia” mengaku sendiri di hadapku bahwa dirinya mencintai waanita secantik dan seseksi Jenifer Lopez. Bukan, seperti aku. Sebuah lahan tandus yang hanya mampu menjadikan benih gabuk. Sungguh, aku tahu, “dia” tak pernah mengharapkan aku.
Tapi, mengapa kami selalu saling mencuri lihat? Memandang saat jarak masih jauh? Bahkan, meski semua seolah tampak wajar, kami menikmati tiap pelukan dan sentuhan yang acap kali terjadi. Tak jarang, saat “dia” berujar kesal karena tak ada yang menghargai dan membutuhkannya maka mantap aku berucap, ”Aku membutuhkanmu untuk tetap bisa bernafas.”. Kami pun tertawa bersamaan. Tawa yang dipaksakan. Tawa yang semestinya berubah menjadi keseriusan karena perasaan terdalam telah terlontar tak pernah terjadi.
Ah, kisah macam apa ini? Mengapa tak ada keberanian? Ingin kuakhiri tapi....
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**
“Dia” tak datang memenuhi janjinya seperti biasa. “Dia” memang selalu begitu. Mengumbar kata ya dan anggukan pada semua seolah mampu melakukan semua sekaligus dalam bersamaan. “Dia” memang selalu begitu. Hanya ingat mereka –teman-temannya- bukan aku. Bahkan, aku sering merasa “dia” tak ada saat kubutuhkan. Ah, memangnya aku ini siapa. Aku bukan siapa-siapa apalagi pacar. Kalau sudah begitu aku hanya berucap,”Dasar lelaki tak berguna. Di mana engkau saat aku perlu?”. Dan, selalu saja, dia memang begitu. Membalas semuanya dengan tawa. Tawa yang teramat tidak bagus. Taawa yang membuat sakit telinga bagi yang mendengarnya. Tentu saja, tawa yang membuat wajahnya semakin tak karuan. Ah, kalau sudah begitu aku pun tak sanggup lagi untuk tidak juga tertawa.
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?
**

10.30
Aku bertemu “dia”. Entah magnet apa yang menyeretku untuk mendekatinya. Aku tak ingin lagi bicara dengan “dia”, semula. Namun, toh semua itu sia-sia ketika hari ini “dia” datang setelah berhari-hari kami tak bertemu. “Dia” mengurai semua alasan mengapa “dia” tak ada selama ini. Tak kugubris semua itu. Kemudian, lagi-lagi, aku berujar, ”Dasar lelaki tak berguna!”. Kupikir “dia” akan tertawa seperti biasanya. Ternyata tidak. “Dia” mengulang kalimat itu dengan intonasi yang tak kutahu entah apa maksudnya. Perlahan aku lebih mendekat padanya. Kemudian, kurengkuh pundak itu. “Kamu tersinggung?” tanyaku. “Dia” membuang pandang. Aku yakin “dia” tersinggung. Aku berusaha membuatnya menatapku dengan merapatkan tubuh. Benar, kami bersentuhan. Darahku seolah mendidih. Benar, aku ingin “dia” mendekapku. Tapi, aku tak ingin larut dalam kondisi semacam itu. Kunetralisir semuanya dengan pura-pura tak peduli dan kembali menjaga jarak dengannya.
“Aku tak suka orang yang terlalu suka menonjolkan diri,” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibirnya.
“Jadi, kamu tidak menyukai aku?,” aku keceplosan. Tak seharusnya kuucap kalimat itu, sesalku.
“Sudah pasti....,” ”dia” tak langsung melanjutkan kalimatnya, ”Aku menyukaimu,” lanjutnya sembari memutar badan membelakangiku.
Aku mendengarnya, melihatnya, kemudian kuterdiam. “Dia” memang selalu begitu.
Kapan terakhir kali aku jatuh cinta? Saat semuanya jadi terasa ganjil. Serba salah tingkah dan selalu tak lekang berharap dia memperhatikan. Aku menikmatinya. Sayang, aku benci jatuh cinta –selalu?

No comments: