Thursday, April 3, 2008

Dua Sisi

Dua Sisi
Kuawali semuanya dari putih, dari nol. Hidup wajar masa kanak-kanak yang begitu indah, seolah tanpa cacat. Bunda selalu berkata, ”Jadilah anak yang baik, berguna bagi bangsa, negara,dan agama. Jalankanlah hidup yang lurus-lurus saja, ’nggak usah neko-neko, ’ntar malah keblasak, kesasar! Kalau sudah begitu susah nyari jalan tembusnya!”. Saat itu aku terdiam, mataku setengah ngantuk sehingga nasihat itu berlalu begitu saja, bungentuwa, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Aku terlelap di atas pangkuan bunda.
“Pagi, Pierre!”
“Hi pagi juga, Mastral! Tumben hari ini kamu tidak telat?! What’s wrong?!”
“Ah kamu ini selalu saja sok perhatian dan senang ngurusin orang lain. Seharusnya kamu senang donk aku bisa mereform habit yang selama ini kamu gunakan untuk mengolokku di depan bos!”
Keduanya tertawa lalu kembali larut dalam kerja. Ruangan itu berukuran 4x6 meter, AC-nya tak begitu terasa, dipenuhi nuansa biru, tak begitu indah. Tapi di situlah kedua pria lajang itu selalu menghabiskan 10 dari 24 jam harinya dengan menongkrongi screen komputer beradiasi tinggi, bercanda dengan imajinasi, mengocok dan mengaduk-aduk isi kepala serta menggali sumur untuk mendapat sumber air yang menyelamatkan pikirannya dari kekeringan.
**
Aku tak tahu entah sejak kapan aku mulai tercebur dalam kubangan hitam ini. Demikian pula, bila kau bertanya mengapa aku tak pernah menitikkan air mata.
Lebih kurang sepuluh tahun silam mungkin terakhir kalinya aku menangis. Ketika aku kehilangan orang yang paling dekat denganku. Nyaiku. Setelah itu, kelenjar air mataku seolah mengalami suddenly disfunction bahkan ia tak keluar setetes pun ketika kepedihan menderaku.
Ya, ketika bapakku yang telah bertahun-tahun menghilang –aku tak ingin tahu ke mana ia raib- membacok ibu. Hanya gara-gara ia protes mengapa lelaki yang tak pantas menyandang predikat bapak itu tidur dengan perempuan anjing yang hampir setiap malam mangkal di perempatan jalan menjajakan payudara yang dilher begitu saja.
Sejak itulah aku membenci lelaki –pernahkah kau ingin mengutuknya? Mungkin kamu tak akan sanggup melakukannya. Apalagi saat libidomu naik, kau pasti menginginkan mereka menidurimu hingga kau tersedak sekarat dalam orgasme.
Tapi, tidakkah kau pernah berpikir untuk mengganti sekerat tulang rawan itu dengan mesin vibrator hingga kau pun tak lagi membutuhkan mereka? Biarlah kau menganggapku narsisistik, aku tak peduli!
Bahkan, kebencianku terhadap kaumnya Adam itu benar-benar mengklimaks ketika dengan terseok aku menyisir setiap ruas jalan mencari sesuatu untuk mengganjal perut yang sudah 36 jam tak terisi –bukankan aku hebat?. Gang itu begitu gelap. Tak ada lampu menerangi hanya temaram cahaya bulan dan sedikit bintang –mestinya aku bahagia saat itu- yang menyapu tiap sudut dinding yang dipenuhi umpatan dan gambar-gambar yang tidak nyeni sama sekali.
Di pojok tenggara dari gang sempit itu kulihat empat pemuda berpesta pora menenggak alkohol murahan, rambutnya ngepunk, pakaiannya ngepas di badan yang ceking dengan tindik bertebaran di mana-mana. Kuselonjorkan kaki yang serasa ingin patah, kudengar suara cacing dalam perutku yang mulai berdemonstrasi menuntut dikasih makan. Kucoba mengatubkan mata sambil membayangkan enaknya paha ayam bakar dan hangatnya nasi kebuli untuk mengusir laparku. Baru semenit yang lalu aku merasa kenyang lalu tertelelap, aku telah terbangunkan oleh suara ocehan orang-orang yang terdengar sangatlah mabuk, sakau mungkin. Perlahan kubuka mata lalu kukerjap-kerjapkan, kantukku pun seketika menghilang. Keempat pemuda yang semula berada cukup jauh kini telah berada pada jarak kurang dari setengah meter dari tubuhku. Mereka saling maki dengan umpatan-umpatan kotor, memutariku seolah berebutan. Tangan mereka mulai menjambak rambut kusutku. Tunggu, kulihat salah satu dari mereka mulai memplorotkan resleting jinsnya, kemudian….
**
Di sebuah kafe yang berlampu temaram terdengar alunan solo organ, entah lagu apa yang dimainkan. Tak ada seorang perempuan pun di sana. Manager, waiters, dan tamu-tamunya semua berjenis kelamin sama, lelaki! Di meja nomor tujuh di pojok sebelah kanan di bawah remang dan kerlipan mirror ball.
“Pierre, aku mencintaimu!”
“I love you too, Mastral!”
Keduanya saling meremas tangan masing-masig kemudian larut dalam lips kissing yang begitu dasyat. Tak ada yang protes, no prohibition, it’s their own world. Wajar, kafe itu memang kafenya orang-orang yang tidak mengharapkan perempuan. Perempuan adalah racun bagi mereka. Itu bukanlah tindakan aneh justru aneh bila lelaki dan perempuan melakukan ciuman di tempat seperti ini.
“No woman no cry!”
“That’s right. Wanita hanyalah poison bagi kita. Hanya berguna untuk mematikan, lain tidak!”
“Eit..you’re wrong. We still need ‘em to bear us!”
“Iya. Aku lupa. Itu satu-satunya kelebihan mereka. Bisa beranak!”
Keduanya tertawa lepas. Menikmati hidup. Bebas tanpa beban. Benar-benar a happy together world.
**
Aku merasa selangkanganku perih dan sakit. Kulihat darah yang belum benar-benar kering membasahi kakiku menyisakan noda kemerahan pada rok bawahanku yang sudah carut marut tak berbentuk dan bercak-bercak sperma yang muncrat ke mana-mana. Aku berusaha menemukan celana dalamku yang entah hilang terlempar ke mana. Aku meringis, berjalan dengan kaki terseret. Tak kuhiraukan lagi dinginnya malam yang menggerayangi setiap sisa keindahan tubuhku yang telah tercemar. Aku terlalu kuat dan tegar untuk mengalami psyco traumatic atau pun sensoric trauma yang sering dilontarkan dalam seminar-seminar psikologi yang membahas kondisi jiwa korban pascaperkosaan. Tapi aku tetap benci lelaki!
Entah siapa yang membaiat diriku utnuk menjalani profesiku yang sekarang, seorang pelacur kelas kuli dan sopir. Tidak membuatku sekaya para pejabat korup yang makan uang rakyat atau pun para aktivis yang sering berkoar-berkoar ingin memperjuangkan dan membela hak orang semacam aku tapi yang sebenarnya hanyalah menjadikan kami sebagai tameng untuk memupuk kekayaannya, tapi cukuplah uang yang kuperoleh dalam semalam setelah dikurangi jatah induk semang dan sejumlah pungli beberapa polisi kota untuk sekedar mengisi perut dan membeli bedak serta gincu seharga lima ribuan.
Haruskah aku menyalahkan Helen yang kerap di sapa tante oleh teman-temanku –kecuali diriku sebab aku terbiasa memanggil namanya saja. Dia seorang germo yang baik di mataku. Dia yang mengentasku dari jalanan gadis korban perkosaan kemudian mempermak diriku menjadi seorang kupu-kupu malam primadona di kompleks lokalisasi ini. Aku bisa mendapatkan duit dengan tidak harus keluar keringat terlalu banyak. Cukup menyediakan tubuhku menjadi santapan lelaki yang mengapa selalu tidak puas hanya dengan satu wanita. Dasar lelaki!!!
Kenalkan, ini Marie sahabat sekaligus kekasih. Maaf, aku tak bilang dari awal. Tapi jangan terkejut. Aku memang lesbian tapi sumpah aku tidak pernah melakukan hal itu. Mungkin inilah yang disebut platonist, sebuah kisah asmara tanpa terkontaminasi oleh orientasi seksual? Kurasa penjelasan pun tak dibutuhkan untuk menjawab mengapa aku begini. Mencintai tidaklah harus selalu beralasan, yang terpenting kebahagiaan. Itu saja. Titik.
1 Januari 1999. Happy new year. Hari keberuntungan sekaligus hari naasku. Seorang bule kelahiran negeri Ratu Elizabeth, Mc O’brien namanya. Dia membokingku sejuta untuk menemaninya tidur. Malam ini aku kaya, pikirku. Ia membawaku ke sebuah losmen kecil di pinggiran kota. Ia menyuruhku duduk di pinggir kasur lalu tanpa disuruh aku pun menanggalkan sackdress yang melekat di tubuhku. Dia menghampiriku. Melemparkan seutas tali yang dirigohnya dari celana. Kuikat tanganku di salah satu tiang ranjang sesuai perintahnya. Kupikir, inikah permainan gaya baru yang lagi in? Kulihat ia sudah bertelanjang dada. Ia kini sedang melolos sabuknya. Belum sempat aku berpikir mengapa lelaki bule ini tidak bertingkah seperti lelaki lain yang biasanya langsung buas melahapku, ia telah mencambukiku dengan ikat pinggang kulitnya. Sakit. Entah sudah cambukan yang ke berapa, aku tak merasakannya. Aku hanya diam seperti biasa. Pasif tanpa reaksi sebab aku memang tak tertarik untuk bersenggama dengan lelaki apalgi dengan cara seperti ini telah menambah kebencianku pada lelaki. Kulitku gosong membiru bahkan ada beberapa bagian yang mengelupas. Lelaki bule bangsat itu kulihat kelelahan. Kukira ia akan segera mengakhiri ini semua, ternyata tidak. Suddenly he put his trousers off then ate me! Fuck you! Bedebah. Keparat. Aku benci lelaki di dunia ini!!
**
Tujuh bulan kemudian di kafe yang sama serta di pojok yang sama pula. Pierre dan Mastral saling duduk diam berhadapan. Keduanya tertunduk. Tak ada kata yang terwakili. Aneh. Tak seperti biasanya. Jakun keduanya tampak turun naik seolah tengah bersiap mengucap sederet kata yang teramat sulit untuk terucap. “Aku ingin semuanya berakhir!”. Empat kata yang terangkum dalam satu kalimat itu mereka ucapkan secara bersamaan tanpa komando dengan intonasi seru –mengapa begitu sulit?
Empat puluh delapan jam, 20 menit kemudian. Tidak di kafe yang sama.
“Pierre, kenalkan ini Nathalie”
“Kenalkan juga. Ini Priscilia, gadis librarian yang kuceritakan padamu dua hari lalu”
Mereka saling bersalaman. Mengenalkan kekasih barunya. Apa yang merubah mereka? Tak ada. Hanya saja mereka telah mengakhiri kisahnya. Tak ada sequel baru, cukup sampai di situ. The end of the story.
Di hari yang sama, di sebuah bangsal rumah sakit.
Aku tergolek lemas tak berdaya, kulitku memucat, rambutku bertahap merontok, dan tubuhku mengurus. Tak ada yang tersisa dari diriku kecuali kebencian yang mendalam pada makhluk yang bernama lelaki.
Tiga bulan setelah malam itu. Aku sering merasa kehilangan tenaga, nafsu makanku hilang hingga penyakit mudah menjangkitiku, segera kupergi ke dokter. Aku tak ingin sakit sebab sakit bagiku kehilangan pendapatan, tak bisa makan! Dua hari kemudian dokter memberi hasil testnya, kau mungkin sudah bisa menduga apa hasilnya. Tepat, dugaanmu tak meleset. Aku terinfeksi penyakit itu. Penyakit yang sudah lazim menjangkiti orang-orang dengan profesi sepertiku. Aku tak terkejut, ini risiko yang harus kutanggung. Tapi bukan berarti dunia berhenti berputar. Aku masih butuh makan sebelum ajal benar-benar merenggut. Kubiarkan tubuhku tetap menjadi piala pila bergilir dari dekapan satu pria ke pria lainnya,dari losmen ke losmen dan akhirnya aku dapat menuntaskan sakit hati dan kebencianku. “Ha..ha.haa! lelaki tetaplah lekaki. Tak pernah bisa melihat kesempatan lewat begitu saja. Apalagi keindahan tubuh pelacur yang tergolek menantang di ranjang. Mereka tak pernah berpikir aku akan mengakhiri hidup dan mempercepat proses kematiannya!”
Marie manatapku iba. Dialah satu-satunya yang masih sudi menemaniku. Tak kubiarkan ia menangis lalu kukatakan padanya,”Aku tidak akan mati. Tangisan hanyalah untuk mereka yang kalah. Aku telah memenangkan pertarungan ini. Aku rela tuhan membakarku dalam api neraka karena Dia tak mengampuniku sebab aku tahu aku tak akan pernah memaafkan mereka,karena aku tau aku membenci lelaki!”.
Marie menatapku kembali, kali ini tidak dengan tatapan iba melainkan kebencian terpancar dari sepasang bola matanya,entah ditujukan pada siapa. Dengan membanting pintu ia berlari meninggalkan ruangan ini. Baru setelah itu kutersadar kebencian itu ia tujukan padaku. Aku lupa, Marie dulunya juga seorang lelaki.Tetapi, persetan dengan Marie!!!

No comments: